BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM
SEWA TANAH
2.1.
Pendahuluan
Tidak
lama setelah kepergian Gubernur Jenderal Daendeles dari Indonesia, Jawa
diduduki oleh Inggris dalam tahun 1811. Zaman pendudukan Inggris ini hanya
berlangsung selama lima tahun, yaitu 1811-1816, akan tetapi selama waktu ini
telah diletakkan dasar-dasar kebijaksanaan ekonomi yang sangat mempengaruhi
sifat dan arah kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang dalam tahun 1816
mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintah kolonial Inggris.
Azas-azas
pemerintahan sementara Inggris ini ditentukan oleh Letnan Gubernur Raffles,
yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada hakekatnya,
Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala
unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan
rodi yang di jalankan oleh kompeni Belanda (VOC) dalam rangka kerjasama dengan
raja-raja dan para bupati. Secara konkrit Raffles ingin menghapus segala
penyerahan wajib dan pekerjaan rodi yang selama zaman VOC selalu di bebankan
kepada rakyat, khususnya pada petani. Kepada para petani ini Raffles ingin
memberikan kepastian hukum dan kebabasan berusaha.
Dalam
hal ini pandangan Raffles dalam banyak hal sama dengan pandangan seorang
pejabat Belanda dari akhir zaman VOC yang bernama Dirk Van Hogendorp. Van Hogendorp ini telah menarik kesimpulan
dari pengamatannya di Indonesia bahwa sistem Feodal yang terdapat di Idonesia
pada waktu itu berhasil dimanfaatkan oleh VOC yang mematikan segala daya usaha
rakyat Indonesia. Oleh karena itu ia menganjurkan agar kekuasaan , khususnya
hak
kuasa tanah para Bupati atas rakyat, untuk mengetahui mencapai tujuannya dalam
memperoleh hasil-hasil bumi di Indonesia, VOC telah mempergunakan Raja-Raja dan
para Bupati sebagai alat dalam kebijaksanaan dagangannya. Sebagai pengganti
sistem paksa yang berlaku hingga waktu itu, Van Hogendorp menganjurkan agar
para petani diberikan kebebasan penuh dalam menentukan tanaman-tanaman apa yang
hendak di tanam mereka maupun dalam menentukan bagaimana hasil panen mereka
hendak dipergunakan. Di bawah sistem VOC kebebasan ini tidak ada.
Raffles
sendiri menentang sistem VOC karena keyakinan-keyakinan politiknya yang disebut
Liberal, maupun karena berpendapat bahwa sistem ekploitasi seperti yang telah dipraktekkan
oleh VOC tidak menguntungkan. Raffles berkehendak sebagai pengganti sistem VOC
adalah suatu sistem pertanian di mana para petani atas kehendak sendiri menanam
tanaman dagangan (Cash Crops) yang dapat di ekspor dalam luar negeri. Dalam hal
ini pemerintahan kolonial hanya berkewajiban untuk menciptakan segala pasaran yang
diperlukan guna merangsang para petani untuk menanam tanaman-tanaman ekspor
yang paling menguntungkan.
Dalam
usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru, Raffles ingin
berpatokan pada tiga azas, yaitu :
- Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu di hapuskan dan kebebasan penuh di berikan kepada rakyat untuk menentukan jenis tanaman apa yang hendak di tanam tanpa unsur paksaan apapun juga.
- Peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian yang integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan azas-azas pemerintahan di negeri-negeri
Barat.
Secara konkrit hal ini berarti bahwa para Bupati dan Kepala-Kepala pemerintahan
pada tingkat rendahan harus memusatkan perhatiannya kepada proyek-proyek
pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk.
- Berdasarkan anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (Tenant) tanah milik pemerintah. Untuk penyewahan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah (Land-Rent) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. Sewa inilah selanjutnya yang dijadikan dasar kebijaksanaan ekonomi pemerintahan Inggris di bawah Raffles kemudian dari pemerintah Belanda sampai tahun 1830.
Sistem
sewa tanah kemudian dikenal dengan nama Landelijk Stelsel bukan saja diharapkan
dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada para petani serta
merangsang juga arus pendapatan negara yang mantap. Jadi perubahan ini pada
dasarnya bukan merupakan perubahan ekonomi semata-mata tetapi suatu perubahan
sosial-budaya yang menggantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan
ikatan kontrak yang belum pernah di kenal. Dengan demikian maka dasar kehidupan
masyarakat Jawa yang tradisional hendak digantikan dengan dasar kehidupan
masyarakat di negara-negara Barat. Demikian sistem ekonomi yang didasarkan atas
lalulintas pertukaran yang bebas.
2.2.
Pelaksanaan
Sistem
sewa tanah ini tidak meliputi seluruh pulau Jawa. Misalnya, didaerah-daerah
sekitar Jakarta pada waktu itu Batavia maupun daerah-daerah Parahiyangan sistem
sewa tanah tidak diadakan, karena daerah-daerah sekitar Jakarta pada umumnya
adalah milik swasta, sedangkan di daerah Parahiyangan pemerintah kolonial
berkeberatan untuk menghapus sistem tanam paksa kopi yang memberi keuntungan
besar. Oleh karena itu daerah
Parahiyangan
tidak pernah mengenal suatu fase menengah yang agak bebas diantara dua masa
yang dicirikan oleh unsur paksaan dalam keadaan ekonomi, seperti telah dikenal
oleh daerah-daerah lain di Jawa , melainkan daerah ini terus-menerus hanya
mengenal sistem tradisional dan feodal sampai tahun 1870.
Raffles
hanya berkuasa untuk waktu yang singkat di Jawa, yaitu lima tahun dan
terbatasnya pegawai-pegawai yang cukup serta dana-dana keuangan yang
menyebabkan Raffles tidak sanggup melaksanakan segala peraturan yang berkaitan
dengan sistem sewa tanah. Meskipun demikian gagasan –gagasan Raffles mengenai
kebijaksanaan ekonomi kolonial yang baru mempengaruhi pejabat-pejabat
pemerintahan Belanda tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan politik atas
Pulau Jawa dari pemerintahan Inggris.
LKebijaksanaan
Raffles diteruskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang baru, yaitu :
- Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van Der Capellin (1816-1819)
- Gubernur Jenderal Van Der Capellin (1819-1826)
- Komisaris Jenderal Du Bus De Gisignies (1826-1830)
- Gubernur Jenderal Van Den Bosch dalam tahun 1830
Sistem
sewa tanah baru di hapuskan dengan kedatangan seorang Gubernur Jenderal baru,
yaitu Van Den Bosch dalam tahun1830 yang menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan
dalam penanaman tanaman dagangan dalam bentuk yang lebih keras dan efisien daripada
di bawah VOC.
Pelaksanaan
sistem sewa tanah mengandung tiga aspek, yaitu :
- Penyelenggaraan satu sistem pemerintahan atas dasar-dasar modern.
- Pelaksanaan pemungutan sewa.
- Penanaman tanaman dagangan untuk di ekspor.
Ø Mengenai
aspek yang pertama, apa yang dimaksud oleh Raffles dengan pemerintahan yang
modern adalah penggantian pemerintahan-pemerintahan tidak langsung yang dahulu di
selenggarakan melalui Raja-Raja dan kepala tradisional dengan suatu
pemerintahan yang langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasan tradisional
Raja-Raja dan kepala tradisional sangat di kurangi dan sumber penghasilan
mereka yang tradisional di hilangkan. Fungsi-fungsi pemerintahan yang mereka
laksanakan samapai waktu itu, sekarang dilakukan oleh pegawa-pegawai Eropa,
yang jumlahnya bertambah banyak. Oleh Raffles diadakan fungsi asisten-residen,
yang bertugas untuk mendampingi dan mengawasi para bupati, dan “pengawas
penghasilan yang diperoleh dari tanah” (opzieners der landelijke inkomsten)
yang kemudian disebut pengawas pamongpraja (controleur van het binnenlands
bestuur). Dengan makin bertambahnya pengaruh pejabat-pejabat bangsa Eropa,
pengaruh para bupati pribumi makin berkurang dan pejabat-pejabat Eropa timbul
pikiran untuk menghilangkan sama sekali jabatan bupati pribumi. Pada waktu Van
Der Cappellen menerima jabatan sebagai gubernur jenderal dalam pemerintahan
Belanda yang telah dipulihkan, pengaruh para Bupati sudah sangat berkurang di
bandingkan dengan zaman VOC. Namun Van Der Capellen menyadari bahwa para Bupati
mempunyai pengaruh tradisional yang besar atas rakyat dan ia juga menyadari
bahwa pejabat-pejabat Eropa tidak pernah bisa menggantikan kedudukan sosial para
bupati dalam masyarakat Jawa. Oleh karena itu
Van
Der Capellen menempuh kebijaksanaan yang menghormati kedudukan sosial para
bupati dan berusaha menggunakan kekuasaan serta pengaruh mereka untuk
tujuan-tujuan pemerintah kolonial yang secara lambat laun kekuasaan efektif
telah bergeser dari para Bupati pejabat-pejabat Eropa. Sejak dahulu untuk
jasa-jasa mereka para bupati di berikan tanah dan menurut adat kebiasaan mereka
maupun pekerjaan rodi dari penduduk yang tinggal di atas tanah. Di bawah
Raffles kebiasaan ini di hapus dan para Bupati kemudian mulai diberi gaji dalam
bentuk uang untuk jasa-jasa mereka pada pemerintah kolonial. Dengan putusnya
hubungan antara Bupati dan tanah, lenyaplah kewajiban rakyat untuk melakukan penyerahan
wajib pekerjaan rodi untuk para bupati. Dalam menilai keberhasilan perubahan
yang diadakan dalam kedudukan para bupati bahwa secara marginal terjadi
pembatasan dalam kekuasaan para bupati. Meskipun pemerintah kolonial secara
resmi telah menghapus kebiasaan rodi ini namun kebiasaan tradisional ini tetap
diteruskan.
Ø Mengenai
aspek yang kedua yaitu pelaksanaan pemungutan sewa tanah. Selama zaman VOC “Pajak”
berupa beras yang harus di bayar oleh rakyat Jawa kepada VOC ditetapkan secara
kolektif untuk seluruh desa. Dalam mengatur pemungutan wajib ini para kepala
desa oleh VOC diberikan kebebasan penuh untuk menetapkan jumlah-jumlah yang
harus di bayar oleh masing-masing petani. Kebebasan ini mengakibatkan
tindakan-tindakan sewenang-sewenang yang merugikan rakyat. Sebagai seorang
Liberal Raffles menentang kebiasaan ini. Berdasarkan keyakinannya bahwa
penduduk Jawa harus dapat menikmati kepastian hukum, maka ia mempertimbangkan penetapan
pajak secara perorangan. Peraturan mengenai penetapan pajak berupa pajak tanah
yang harus dibayar oleh perorangan dan bukan lagi oleh desa sebagai keseluruhan
di keluarkan dalam tahun 1814. Daerah pertama yang terkena peraturan ini adalah
Banten.
Akan tetapi tidak lama kemudian ternyata pelaksanaan pemungutan pajak secara
perorangan mengalami banyak kesulitan karena tidak tersedianya bahan-bahan
keterangan yang baik dan dapat dipercayai untuk penetapan jumlah pajak yang
harus di bayar oleh tiap-tiap orang. Oleh karena itu penetapan pajak tidak
dilakukan dengan tepat sehungga sering memperberat beban pajak untuk rakyat.
Kesulitan-kesulitan ini mengakibatkan dalam tahun 1816, sewaktu kekuasaan atas
pulau Jawa telah dikembalikan kepada Belanda, para komisaris Jenderal menghapus
penetapan pajak secara kolektif untuk tiap-tiap desa sebagai keseluruhan.
Ø Mengenai
aspek ketiga dari sistem tanah adalah promosi penanaman tanaman-tanaman
perdagangan untu ekspor. Pada umumnya eksperimen ini telah mengalami kegagalan.
Misalnya, penanaman kopi yang pada awal abad ke 19 merupakan tanaman perdagangan
terpenting di Jawa dan di bawah sistem sewa tanah mengalami kemunduran. Salah
satu sebab dari kagagalan ini adalah kekurangan pengalaman para petani dalam
menjual tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas, sehingga sering penjualan ini
diserahkan kepala-kepala desa mereka. Hal ini mengakibatkan bahwa kepala-kepala
dasa sering menipu petani itu sendiri atau si pembeli, sehingga akhirnya
pemerintah kolonial terpaksa campur tangan lagi dengan mengadakan lagi
penanaman paksa bagi tanaman-tanaman perdagangan.
2.3. Penilaian
Pengalaman-pengalaman yang diperoleh
selama masa sistem sewa tanah berlaku, baik selama pemerintah sementara Inggris
di bawah Raffles maupun selama pemerintahan Belanda di bawah para Komisaris
Jenderal dan Gubernur Jenderal Van Der Capellen, menunjukkan bahwa usaha untuk
mengesampingkan para Bupati dan kepala-kepala Desa
tidak
berhasil. Ternyata mau tidak mau struktur feodal yang berlaku di masyarakat
tradisional Jawa khususnya gengsi sosial yang dimilikipara Bupati dan Kepala
Desa, perlu di mobilisasi lagi oleh pemerintah kolonial jika mereka mau
mencapai tujuan mereka untuk mendorong penduduk menanam tanaman perdagangan
yang diinginkannya. Oleh karena itu pelaksanaan sistem tanah ini tidak merata
(uneven). Kadang-kadang di beberapa tempat terdapat penanaman secara bebas,
tetapi penanaman bebas ini hanya formalitas belaka.
Sistem sewa tanah ini mengakibatkan
lebih meresapnya pengaruh politik maupun pengaruh sosial samapi batas tertentu
ke dalam masyarakat Jawa, oleh karena usaha mengesampingkan para bupati untuk langsung
berhubungan dengan para petani sendiri. Walaupun para bupati dapat di kesampingkan,
hal yang tidak dapat dilakukan dengan kepala-kepala desa, yang harus dikerahkan
untuk pemungutan pajak tanah. Oleh karena itu usaha sistem sewa tanah untuk
mengandakan hubungan langsung dengan para produsen tanaman dagangan itu sendiri
tidak berhasil.
Ditinjau dari tujuan untuk
meningkatkan tingkat kemakmuran penduduk di Jawa dan merangsang produksi
tanaman dagangan, sistem sewa tanah dapat dikatakan telah mengalami kegagalan.
Usaha-usaha untuk menghapus struktur masyarakat yang tradisional (feodal) dan
memberikan kepastian hukum yang lebih besar kepada penduduk pun tidak berhasil.
Sebab-sebab kegagalan sistem sewa
tanah yang diterapkan Raffles di Jawa karena Raffles memperkenalkan kebijaksanaannya
sangat di pengaruhi oleh azas-azas kolonial Inggris yang telah di tempuh di
India. Kesalahan-kesalahan Raffles ialah bahwa ia mungkin telah
melebih-lebihkan persamaan –persamaan yang menurut ia terdapat antara India dan
Jawa sedangkan sebenarnya terdapat perbedaan-perbedaan yang besar dalam susunan
masyarakat maupun dalam tingkat perkembamgan ekonomi.
Pada
umumnya bahwa tingkat perkembangan ekonomi India adalah lebih tinggi daripada
di Jawa. Misalnya :
Ø Di India sudah mengenal ekonomi uang (money
economy) sejak abad ke 16 dan antara berbagai daerah di India terdapat lalu
lintas perdagangan yang ramai, yang menunjukkan bahwa desa-desa di India bukan
merupakan desa-desa yang hanya dapat mencukupi kebutuhan –kebutuhan mereka
sendiri. Bahkan India juga mengenal perdagangan ekspor yang cukup ramai.
Ø Dibandingkan
di Jawa keadaan ekonominya pada abad ke 19 masih menunjukkan gambaran ekonomi
yang menyeluruh. Bahkan sebaliknya hanya berdasarkan yang terlihat, yaitu
desa-desa yang pada umumnya hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri tanpa
banyak mengadakan perdagangan apalagi perdagangan ekspor. Selain kopi yang di
peroleh dari penanaman paksa, Jawa pada abad ke 19 hanya mengekspor beras dalam
jumlah yang terbatas dan beberapa barang lainnya yng tidak begitu berarti, yang
di ekspor ke kepulauan Maluku.
Uraian
diatas telah memperlihatkan mengapa kebijaksanaan Raffles yang kemudian di
teruskan oleh pemerintah Hindia-Belanda sampai tahun 1830, mengalami kegagalan.
Berlainan dengan rakyat India, penduduk di Jawa tidak biasa menghasilkan
tanaman-tanaman untuk di ekspor atas usaha dan praktek mereka sendiri. Jika
mereka tidak mendapat perintah dari atasan mereka, mereka tidak akan menanam
tanaman dagangan yang menguntungkan sekalipun, melainkan hanya tanaman makanan.
Hal ini sesuai dengan sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat memenuhi
kebutuhan sendiri (self-sufficient).