BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Metode Sejarah Lokal
Sejarah seharusnya ditulis oleh
orang yang mempunyai kompetensi di bidang kesejarahan yang diharapkan mampu
meneliti dan menulis dengan semangat kritis yang tinggi, dalam arti sejak
pengumpulan data atau sumber sejarah (yang biasa disebut heuristik) sampai
kepada tahap penulisannya (historiografi), harus dilakukan serangkaian kritik
sehingga dapat dihasilkan suatu tulisan sejarah yang didasarkan atas
fakta-fakta yang benar-benar teruji dan dapat diandalkan. Untuk mencapainya
sejarah harus ditulis melalui prosedur yang disebut Metode Sejarah. Metode ini
mempunyai empat tahapan yang integral, yakni Heuristik, Kritik, Interpretasi,
dan Historiografi.
Metode
sejarah dibangun dari dua kata, yaitu metode dan sejarah. Kata metode memiliki
arti cara atau prosedur yang sifatnya sistematis. Sedangkan sejarah memiliki
arti rekonstruksi masa lampau. Jadi, metode sejarah dapat diartikan sebagai
cara atau prosedur yang sistematis dalam merekonstruksi masa lampau.Terdapat
empat langkah metode sejarah yang wajib hukumnya dilaksanakan oleh sejarawan
dalam menulis karya sejarah. Empat langkah tersebut ialah :
1.
Heuristik
Pertama – tama perlu disadari, bahwa
dalam kegiatan heuristik ditingkat lokal Indonesia, sulit mengharapkan tersedianya
sumber – sumber sejarah lokal yang begitu bervariasi. Tradisi penulisan sejarah
dengan tekanan pada daerah – daerah tertentu itu masih terus berlanjut sampai
sekarang. Tradisi penulisan sejarah sepertu ini disebut sebagai karya sejarah
“amatitan”oleh kalangan sejarah profesional, dan dianggap kurang bermutu
dilihat dari disiplin ilmu sejarah. Sudah ada berbagai batasan yang dikemukakan
oleh berbagai sejarawan tetapi banyak
aspek-aspek pengertiannya yang masih bisa
diperdebatkan lebih lanjut. Malah seorang sejarawan lokal
Inggris yang terkenal H.P.R Finberg dalam bukunya lokal History, objective dan
Persuit tidak ada mengemukakan rumusan yang eksplisit tentang apa sejarah lokal
itu. Istilah sejarah lokal dan sejarah daerah digunakan secara berganti-ganti
tanpa suatu penjelasan yang tegas. Sejarawan Taufik Abdullah dalam bukunya
Sejarah Lokal di Indonesia ada memasalahkan penggunaan kedua istilah tersebut.
Menurut Budhi Santoso, Etnohistory bisa diterjemahkan sebagai”sejarah suku
bangsa atau sejarah etnis”. Istilah sejarah etnis ini dijelaskan lebih lanjut
oleh Budhi Santoso sebagai suatu rentetan kejadian atau peristiwa dimasa lampau
tentang suatu kategori sosial yang menyatakan dirnya dan dikenal orang lain
sebagai kelompok sosial yang lain. Kajian sejarah lokal perlu memperhatikan
empat langkah utama dalam kegiatannya. Keempat langkah itu ialah pertama berupa
usaha mengumpulkan jejak atau sumber sejarah,kemudian yang kedua adalah usaha
untuk menyeleksi atau menyaring jejak atau sumber sejarah, selanjutnya menyusul
langkah ketiga berupa usaha menginterpretasikan hunungan fakta yang satu dengan
fakta yang lainnya yang mewujudkan peristiwa tertentu dan akhirnya langkah yang
keempat adalah penulisan sejarah. Usaha untuk menelusuri jejak-jejak sejarah sebagai
langkah permulaan dari prosedur kerja sejarawan sering disebut sebagai
heuristik, dari kata Yunani ”heurisken” yang berarti menemukan. Salah satu
klasifikasi sederhana yang dikenal dikalangan sejarawan adalah pembagian berupa
jejak yang ditinggalkan tidak dengan sengaja oleh manusia dalam kegiatannya
sehari-hari dan yang dengan sengaja. Sejarawan lokal sudah bisa memperhitungkan
mana-mana jejak non material, jejak material, jejak tertulis dan jejak yang
disebut representasional.Jejak material yang dengan sendirinya bersifat
konkrit,terdiri dari berbagai macam benda, artefak-artefak, buat barang-barang
lainnya yang dihasilkan oleh manusia di waktu yang lampau,sepert berbagai alat
rumah tangga, alat pertanian, berbagai jenis mesin, kendaraan lukisan, patung
dan lain-lain.
Heuristik artinya mencari dan
mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang terkait dengan topik penelitian. Sumber
sejarah berserakan dimana-mana, baik di perpustakaan, arsip, atau museum. Tugas
pertama sejarawan dalam menulis
sejarah adalah mencari dan mengumpulkan sumber yang
berserakan itu. Heuristik adalah kegiatan berupa penghimpunan jejak-jejak masa
lampau, yakni peninggalan sejarah atau sumber apa saja yang dapat dijadikan
informasi dalam pengeritian studi sejarah.
Louis
Gottchalk (1975) telah memilah heuristik, sebagai berikut :
Ø pertama:
memilih memilih subjek. Dalam memilih subjek, heuristik harus merujuk
kepada empat pertanyaan pokok, yakni : dimana, siapa, bilamana, dan apa.
Pertanyaan tersebut berkenaan dengan aspek geografis, biografis, kronologis,
fungsional atau okupasional. Dari pertanyaan pokok itulah berbagai keharusan
konseptual dilakukan dan berbagai proses pengerjaan penelitian dan penulisan
dijalani. Pertanyaan tersebut berfungsi untuk menentukan penting atau tidaknya
suatu peristiwa diteliti. Juga sebagai alat untuk menentukan hal-hal mana yang
bisa dijadikan “fakta sejarah”. Pendek kata fokus yang bersitat interogatif
tersebut akan menuntun sejarawan kepada subjek, sehingga terhindar dari fokus
yang yang ngawur atau tidak perlu.
Ø Kedua,
informasi tentang subjek, yang dapat dapat diperoleh dari berbagai macam
sumber, yakni:
1.
Rekaman sezaman yang terdiri dari
instruksi atau perintah, rekaman stenografis dan fonografis, surat niaga dan
hukum, serta buku catatan pribadi dan memorandum prive;
2.
Laporan konfidensial yang terdiri
berita resmi militer dan diplomatik, jurnal atau buku harian, dan surat-surat
pribadi;
3.
Laporan-laporan umum yang terdiri
dari laporan dan berita surat kabar, memoar dan otobiografi, sejarah “resmi”
suatu instansi, perusahaan dan sejenisnya.
4.
Quesionaris tertulis;
5.
Dokumen pemerintah dan kompilasi,
terdiri dari risalah instansi pemerintah, undang-undang dan peraturan;
6.
Pernyataan opini, terdiri tajuk
rencana, esei, pidato, brosur, surat
kepada redaksi,
dan sejenisnya;
7.
Fiksi, nyanyian, dan puisi;
8.
Folklore, nama tempat, dan pepatah.
Delapan
sumber informasi tersebut bukanlah sumber sejarah dalam arti sebenarnya.
Artinya ia hanya sebagai sarana untuk mencari keterangan tentang subjek.
Sedangkan sumber sejarah itu sendiri adalah hasil yang diperoleh dari
pencarian informasi tersebut yang nantinya digunakan dalam penulisan sejarah
setelah melalui tahapan pengujian.
Tentang
sumber sejarah, Nugroho Notosusanto (1978:36) telah mengklasifikasikannya ke
dalam tiga bentuk yang sederhana yakni:
- Sumber benda; menyangkut benda-benda arkeologis, efigrafi, numistik, dan benda sejenis lainnya;
- Sumber tertulis, terdiri dari buku-buku dan dokumen;
- Sumber lisan, terdiri dari hasil wawancara dan tradisi lisan (oral tradition).
Hasil
pengerjaan studi sejarah yang akademis atau kritis memerlukan fakta-fakta yang
telah teruji. Oleh karena itu data-data yang diperoleh melalui tahapan
heuristik terlebih dahulu harus dikritik atau disaring sehingga diperoleh fakta-fakta
yang seobjektif mungkin. Kritik tersebut berupa kritik tentang otentitasnya
(kritik ekstern) maupun kredibilitas isinya (kritik intern), dilakukan ketika
dan sesudah pengumpulan data berlangsung. Ada beberapa teknik pengumpulan data
yang dapat dipergunakan dalam metode sejarah, seperti: studi kepustakaan,
pengamatan lapangan, wawancara (interview). Dapat pula digunakan teknik lain
seperti questionnaires, pendekatan tematis (topical approach) beserta berbagai
perangkat ilmu bantu lainnya, terutama digunakan terhadap topik yang mengarah
kepada studi kasus (case study).
- Kritik
Kritik
dilakukan oleh sejarawan manakalah sumber-sumber sejarah telah
dikumpulkan. Bisa dikatakan proses
kedua ini adalah proses penyeleksian sumber. Sumber itu banyak dan harus
diseleksi sesuai kebutuhan sejarawan. Proses kritik meliputi dua macam yaitu
kritik eksternal dan internal.
Ø Kritik
eksternal wajib dilakukan oleh sejarawan untuk mengetahui otentisitas atau
keaslian sumber. Kritik eksternal meliputi tanggal dokumen, bahan dokumen
(kertas, tinta,dan gambar air), isi dokumen (gaya tulisan,huruf ), apakah
sumber turunan (salinan atau fotokopi) atau asli, serta apakah sumber utuh atau
telah diubah. Jika semua poin tadi sesuai dengan zamannya dengan mengecek
sumber sezaman, maka dapat dipastikan bahwa sumber tersebut otentik atau asli.
Ø Kritik
internal wajib dilakukan sejarawan untuk mengetahui kredibilitas sumber.
Kredibilitas meliputi kemampuan dan kejujuran. Apakah sumber itu mampu
mengatakan kebenaran (kedekatan dengan peristiwa, keahlian, dan kehadiran dalam
peristiwa) dan apakah sumber itu mau mengatakan kebenaran. Jika kedua
pertanyaan tersebut telah diajukan kepada sumber maka akan dapat diketahui
kredibilitas sumber tersebut.
Sumber
sejarah yang telah dikritik menjadi data sejarah. Data sejarah belum bisa
dikatakan fakta sejarah. untuk menjadi fakta sejarah maka data sejarah harus
dikoroborasikan atau didukung oleh data sejarah lainnya. Dukungan tersebut akan
menghasilkan fakta sejarah yang mendekati kepastian atau hanya dugaan. Bisa
saja satu data sejarah menjadi fakta sejarah, selama tidak ada pertentangan di
dalamnya, ini dinamakan prinsip argumentum ex silentio. Hasil pengerjaan
studi sejarah yang akademis atau kritis memerlukan fakta-fakta yang telah
teruji. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh melalui tahapan heuristik
terlebih dahulu harus dikritik atau disaring sehingga diperoleh fakta-fakta
yang sobjektif mungkin. Kritik tersebut berupa kritik tentang otentitasnya
(kritik ekstern) maupun kredibilitas isinya (kritik intern), dilakukan ketika
dan sesudah pengumpulan data berlangsung. Kritik ekstern terhadap sumber lisan
kalau memang menggunakan teknik wawancara dilakukan terhadap para informan
yang akan diwawancarai. Informan harus memiliki kemampuan untuk memberikan
keterangan yang sebenarnya. Hal itu
dapat dilihat dari keterlibatannya atas suatu peristiwa, serta tingkat
keintelektualannya. Caranya antara lain dengan jalan meminta keterangan kepada
para informan tentang keterlibatan informan lainnya atas peristiwa tersebut.
Faktor usia juga menentukan dan sedapat mungkin diperlukan informan yang sezaman
dan pernah berkiprah pada peristiwa yang diteliti. Sedangkan kritik intern
terhadap sumber lisan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan beberapa hasil
wawancara antara informan yang satu dengan yang lainnya, yang juga dibandingkan
dengan sumber sejarah lainnya. Perbandingan itu perlu dilakukan terutama
terhadap versi cerita yang berbeda-beda tentang sesuatu peristiwa. Semakin
banyak versi cerita semakin mudah untuk memperoleh fakta yang sebenarnya.
Tentang hal ini ada baiknya dibaca pengalaman Anton Lucas dalam
Koentjaraningrat dan Donald K. Emerson, editor (1982) yang mungkin bisa
dimanfaatkan oleh para kandidat ahli atau peminat sejarah.
Kritik
ekstern terhadap sumber tertulis perlu dilakukan agar tidak terperangkap
kepada dokumen palsu. Oleh karena itu perlu dipertanyakan tentang otentik atau
tidak sejatinya suatu sumber. Juga perlu diketahui tentang asli dan utuhnya
sumber-sumber. Kalau sebuah dokumen tidak lagi utuh atau cacat, seorang
sejarawan harus mengadakan restorasi teks agar dokumen tersebut kembali utuh
dalam arti isi yang terkandung dapat diterima secara ilmiah. Untuk itu
diperlukan berbagai ilmu bantu sejarah yang dapat memberikan penjelasan yang logis
atas dokumen tersebut, seperti arkeologi, filologi, dan sebagainya. Masalah
anakronistis suatu sumber perlu juga diketahui. Masalah ini berkenaan dengan
apakah materi sumber; tulisan, tanda tangan, materai, cap atau stempel, serta
langgam dan peristiwa yang terekam di dalam dokumen tersebut cocok dengan
zamannya. Kalau tidak cocok, berarti dokumen tersebut anakronistis dan tidak
bisa digunakan sebagai fakta sejarah.
Kritik
intern terhadap sumber tertulis terutama dilakukan dengan jalan melihat
kompetensi, atau kehadiran pengarang terhadap waktu atau peristiwa. Kepentingan
pengarang, sikap berat sebelah serta motif pengarang, juga sangat perlu
untuk diketahui guna menentukan kredibilitas
isi tulisan. Sedangkan terhadap sumber tertulis berupa dokumen, dilakukan
dengan melihat segi semantik, hermeneutik, dan pemahaman terhadap historical
mindedness. Masalah semantik (arti kata) berkenaan dengan kemampuan memahami
secara tepat tentang arti sebuah kata, istilah, maupun konsep yang ada dalam
sebuah dokumen. Dan, masalah hermeneutik berkenaan dengan penghalusan suatu
kata atau istilah sehingga mengaburkan arti yang sebenarnya. Sedangkan masalah historical
mindedness berkenaan dengan kemampuan memahami hal-hal kesejarahan dengan
jalan “meluluhkan” jiwa dan pikiran sesuai dengan kondisi kesejarahan, dan
tidak menggunakan ukuran sekarang untuk “mengukur” masa lampau tersebut. Oleh
karena itu, kadangkala diperlukan pengetahuan dan penghayatan kultural tentang situasi
dan kondisi dimana dokumen tersebut dibuat.
Mengenai
kritik intern secara teoritisi langkah ini baru dilaksanakan sesudah kritik
ekstern selesai menentukan bahwa dokumen yang kita hadapi memang dokumen yang
kita cari,yang bukan saja dokumen yang berarti relevan dengan topik yang sedang
disusun, tapi lebih penting lagi bahwa sumber-sumber itu adalah sumber-sumber
yang otentik. Kritik intern sebenarnya terutama ditujukan pada sumber berupa
dokumen karena menyangkut sifat informasi dalam kaitan dengan posisi dari
sumber pemberi informasi dengan peristiwanya. Oleh sebab itu, kritik intern
terutama mempertanyakan dua hal pokok. Pertama, apakah pembuat kesaksian mampu
member kesaksian yang menyangkut antara lain hubungannya dengan peristiwanya.
- Interpretasi
Interpretasi
adalah proses pemaknaan fakta sejarah. Dalam interpretasi, terdapat dua poin
penting, yaitu sintesis (menyatukan) dan analisis (menguraikan). Fakta-fakta
sejarah dapat diuraikan dan disatukan sehingga mempunyai makna yang berkaitan
satu dengan lainnya. Data atau sumber sejarah yang dikritik akan menghasilkan
fakta yang akan digunakan dalam penulisan sejarah. Namun demikian, sejarah itu
sendiri bukanlah kumpulan dari fakta, parade tokoh,
kronologis peristiwa, atau deskripsi
belaka yang apabila dibaca akan terasa kering karena kurang mempunyai makna.
Fakta-fakta sejarah harus diinterpretasikan atau ditafsirkan agar sesuatu
peristiwa dapat direkonstruksikan dengan baik, yakni dengan jalan menyeleksi,
menyusun, mengurangi tekanan, dan menempatkan fakta dalam urutan kausal.
Dengan demikian, tidak hanya pertanyaan dimana, siapa, bilamana, dan apa yang
perlu dijawab, tetapi juga yang berkenaan dengan kata mengapa dan apa jadinya.
Dalam
interpretasi, seorang sejarawan tidak perlu terkungkung oleh batas-batas kerja
bidang sejarah semata, sebab sebenarnya kerja sejarah melingkupi segala aspek
kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk memahami kompleksitas sesuatu peristiwa,
maka mau tidak mau sejarah memerlukan pendekatan multidimensi. Dengan
demikian, berbagai ilmu bantu perlu dipergunakan dengan tujuan mempertajam
“pisau analisis” sehingga diharapkan dapat diperoleh generalisasi ke tingkat
yang lebih sempurna.Perlu pula dikemukakan di sini, bahwa dalam tahapan
interpretasi inilah subjektifitas sejarawan bermula dan turut mewarnai
tulisannya dan hal itu tak dapat dihindarkan. Walau demikian, seorang sejarawan
harus berusaha sedapat mungkin menekan subjektifitasnya dan tahu posisi
dirinya sehingga nantinya tidak membias ke dalam isi tulisannya.
- Historiografi
Tahap
keempat ini adalah tahap terakhir metode sejarah. Setelah sumber dikumpulkan
kemudian dikritik (seleksi) menjadi data dan kemudian dimaknai menjadi fakta,
langkah terakhir adalah menyusun semuanya menjadi satu tulisan utuh berbentuk
narasi kronologis. Imajinasi sejarawan bermain disini, tetapi tetap terbatas
pada fakta-fakta sejarah yang ada. Semuanya ditulis berdasarkan urut-urutan
waktu. Keempat proses ini harus dipahami oleh sejarawan khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Tidak lain tidak bukan untuk memberikan pemahaman
kepada kita semua, bahwa sejarah bangsa ini harus ditulis dengan kualitas baik,
tidak asal-asalan. Keilmiahan sejarah pun terletak disini. Semoga tulisan ini
membantu kita memahami sejarah dan mulai bergerak untuk menulis
sejarah bangsa ini.
Historiografi
adalah penyajian hasil interpretasi fakta dalam bentuk tulisan. Dapat dikatakan
historiografi sebagai puncak dari rangkaian kerja seorang sejarawan, dan dari
tahapan inilah dapat diketahui “baik buruknya” hasil kerja secara keseluruhan.
Oleh karena itu dalam penulisan diperlukan kemampuan menyusun fakta-fakta yang
bersifat fragmentaris ke dalam tulisan yang sistematis, utuh, dan komunikatif.
Dalam historiografi modern (sejarah kritis), seorang sejarawan yang piawai
tidak lagi terpaku kepada bentuk penulisan yang naratif atau deskriptif,
tetapi dengan multidimensionalnya lebih mengarah kepada bentuk yang analitis
karena dirasakan lebih scientific dan mempunyai kemampuan memberi keterangan
yang lebih unggul dibandingkan dengan apa yang ditampilkan oleh sejarawan
konvensional dengan sejarah naratifnya.
2.2. Corak Studi Sejarah Lokal
Sejarah
lokal hanyalah sejarah dari suatu tempat, suatu “locality” yang batasnnya
ditentukan oleh “perjanjian” yang diajukan penulis sejarah. Secara garis besar corak
studi sejarah local yang pernah dilakukan tentang Indonesia dapat dibedakan
atas empat golongan. Keempat golongan itu ialah:
- Studi yang difokuskan pada suatu peristiwa tertentu. Studi yang mengadakan rekontruksi terperinci dari suatu peristiwa yang memperlihatkan sumber dan pola dari dinamik sosial yang melatarbelakangi sebuah peritiwa sejarah. Sebagai contoh, karya Sartono Kartodirdjo berjudul Pemberontakan Petani di Cilegon Banten pada tahun 1888.
- Studi yang lebih menekankan pada struktur. Studi yang menekankan pada struktural terlihat pada penulisan sejarah yang menguasi peristiwa-peristiwa yang membawa pada suatu munculnya peritiwa akibat struktur suatu masyarakat. Contohnya, MC. Ricklef dalam Sultan Hamengkubuwana I (Mangkubumi) di Yogyakarta.
- Studi yang mengambil perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu tertentu (studi tematis). Corak studi tematis menekankan pada perkembangan suatu aspek social, suatu proses, sedangkan pencarian struktur lebih sadar dilakukan sebagai usaha untuk mengerti aspek yang diteliti itu. Studi yang bersandar pada patokan bahwa daerah dan aspek yang diteliti tidak terlepas dari konteks politik dan gejala daerah yang lebih luas. Contohnya, karya Onghokham tentang kehidupan petani dan priyayi di Karesidenan Madiun pada abad ke-19.
- Studi sejarah umum yang menguraikan perkembangan daerah tertentu (propinsi, kota, kabupaten) dari masa ke masa. Studi umum dari sejarah lokal yang menguraikan sejarah suatu daerah dari masa sampai perkembangan mutakhir dari suatu periode. Contohnya, tulisan M. Said tentang Aceh.
Dilihat dari
fokus serta pendekatan metodologis yang digunakan dalam studi sejarah lokal
kritis analitis ini,maka Taufik Abdullah membedakan adanya empat corak penulisan
diantaranya, yaitu :
- Corak pertama yang disebutnya sebagai”studi yang difokuskan pada suatu peristiwa tertentu.diambilkan contohnya pada karya Sartono Kartodirjo tentang pemberontakan petani di Daerah Cilegon Banten.
- Corak kajian sejarah lokal kritis yang kedua yang disebut oleh Taufik Abdullah sebagai studi yang lebih menekankan pada struktur dianggap bisa ditemukan contohnya pada karya Clifford Geertz tentang suatu kota kecil di Jawa Timur.Sebagai seorang ahli antropologi maka yang ditekankan ialah menemukan struktur sosial atas dasar yang mana berbagai peristiwa historis itu dicarikan wadahnya sekaligus penjelasannya.
- Jenis studi sejarah local kritis yang ketiga adalah studi yang mengambil aspek tertentu dalam kurun waktu tertentu dari masa ke masa.Di Sini yang ditekankan ialah pembahasan atau tema yang mencerminkan suatu aspek serta proses sosial tertentu yang kemudian dicarikan penjelasannya pada kaitannya struktur yang lebih luas yang dianggap sebagai pangkal dari aspek serta proses sosial yang diteliti.
- Mengenai corak yang keempat dari Tipologi Abdullah yaitu studi sejarah umum yang menguraikan perkembangan daerah tertentu dari masa ke masa.Sifat popular dari sejarah lokal jenis ini antara lain ditujukkan dengan corak uraian yang naratif kronologis.Adapun tujuan utama dari usaha membuat tipologi sejarah lokal ini ialah untuk menunjukkan posisi dan pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sejarah lokal atas dasar mana yang bisa digalang saling pengertian akan peran serta dan tanggungjawab masing-masing pihak.
Ø Sejarah lokal tradisional.
Sejarah
lokal tradisional bisa dikatakan merupakan tipe sejarah local yang pertama-tama
muncul di Indonesia. Sifat lokalitasnya dengan
sendirinya mudah dimengerti karena belum berkembangnya kesadaran akan kesatuan
antar etnik yang meliputi seluruh Indonesia seperti sesudah kebangkitan
nasionalisme pada permulaan abad 20. Penyusun-penyusun
sejarah lokal tradisional bisa diduga adalah tokoh-tokoh intelektual
tradisional yang juga tidak bisa dibandingkan dengan isi kitab-kitab sejarah
modern karena yang dipentingkan adalah tujuan untuk mengabadikan
pengalaman-pengalaman kelompok masyarakat itu dan cara membuat uraiannya juga
sesuai dengan alam pikiran masyarakat tradisional itu. Penyusun-penyusun sejarah lokal tradisional tidak bisa dibandingkan dengan
sejarawan local professional yang berlatar pendidikan kesejarahan khusus.Salah
satu hal yang perlu diketahui juga bahwa penulis sejarah lokal tradisional ini
jarang ditampilkan,karena penonjolan individu dalam masyarakat tradisional ini
kurang dipentingkan.
Ø Sejarah
Lokal Kolonial.
Sejarah
lokal kolonial merupakan suatu kategori tersendiri dalam tipologi sejarah
lokal,terutama karena beberapa karakteristik yang dimilikinya.Karakteristik
yang pertama dari sejarah lokal jenis ini ialah bahwa
sebagian besar dari
penyusunnya adalah pejabat-pejabat kolonial di daerah-daerah.Laporan itu bisa
berupa memori serah jabatan atau laporan khusus kepada pemerintah pusat di
Batavia tentang suatu perkembangan khusus di daerah kekuasaan pejabat bersangkutan
atau bisa juga suatu laporan penjajagan atas wilayah-wilayah tertentu di
Indonesia yang sedang diincar oleh pemerintah kolonial untuk dimasukkan dibawah
pengaruhnya secara langsung atau tidak langsung. Salah satu karakteristik yang
paling mudah dilihat pada sejarah lokal kritis analitis ialah sifat uraian atau
pembahasan masalahnya yang telah menggunakan pendekatan metodologis sejarah
yang bersifat ketat.Mulai dari pemilihan objek studi,langkah-langkah atau
prosedur kerja sampai ke penulisan laporan pada umumnya didasarkan pada
konsep-konsep metodologis yang mantap.
Ø Sejarah
Lokal Dan Tradisi Lisan.
Kebiasaan penyusunan sejarah tidak bisa dilepaskan dari
budaya suatu masyarakat .Pernyataan ini bisa dihubungkan dengan penegasan
Sartono Kartodirjo yang menyatakan bahwa”penulisan sejarah sebagai salah satu
bentuk perwujudan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kultur dan
oleh karena itu senantiasa hidup dan bergerak. Sebagai suatu aspek budaya maka
kepentingan untuk menjelaskan atau memahami lingkungan sekitar itu adalah
sekaligus sebagai usaha untuk memberi pegangan pada masyarakat terutama
generasi berikutnya dalam menghadapi berbagai kemungkinan dari lingkungan
itu.Di sini tradisi lisan berfungsi sebagai alat ”mnenomik”,yaitu usaha untuk merekam,menyusun
dan menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Isi ceritanya juga makin lama
makin dibumbui dengan imbuhan yang disesuaikan dengan alam pikiran yang
bersifat magis religius.Pelaku-pelaku utama ceriteranya misalnya misalnya
digambarkan sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian tertentu yang mampu
melakukan perbuatan-perbuatan yang penuh dengan kegaiban. Unsur yang terpenting
dari tradisi lisan.Seperti yang telah dikemukakan oleh vansina adalah
pesan-pesan verbal berupa pernyataan-pernyataan yang pernah dibuat di masa
lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini. Menurut
Vansina,Tradisi lisan bisa dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :
- Berupa petuah-petuah yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi kelompok,yang biasanya disusun berulang-ulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang diharapkan jadi pegangan bagi generasi-generasi berikutnya.
- Dari kisah tentang kejadian-kejadian disekitar kehidupan kelompok,baik sebagai kisah perseorangan atau sebagai kelompok.
- Adapum bentuk tradisi lisan yang ketiga adalah yang sering disebut”ceritera kepahlawanan”,yang berisi bermacam-macam gambaran tentang tindakan-tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasanya berpusat pada tokoh-tokoh tertentu dari kelompok itu.
- Tradisi lisan yang terakhir yang disebutkan oleh Vansina adalah yang bisa dimasukkan sebagai berbagai bentuk ceritera”dongeng” yang umumnya bersifat fiksi belaka.Tradisi lisan sering dihubungkan dngan apa yang biasa disebut folklore,karena folklorejuga menyangkut tradisi dalam kelompok masyarakat tertentu.
Ø Sejarah
Lokal Dan Historiografi Tradisional. .
Harus diakui bahwa masyarakat tradisional kita mempunyai
cara-cara khusus dalm memandang peristiwa-peristiwa khusus dilingkungannya
sejalan dengan konsep-konsep sosio budaya jamannya CC Berg sendiri sebenarnya
sejak lama mendalami karakteristik dari karya-karya sejarah tradisional
ini,dimana dari salah satu karangannya dalam tahun 1938,dia antara lain
mengemukakan beberapa cirinya yang khusus sebagai berikut: Salah satu hal yang
dianggap oleh Berg cukup berpengaruh terhadap karya-karya sastra sejarah yaitu
adanya kepercayaan tentang kekuatan”sakti”,yang menjadi
pangkal dari berbagai peristiwa alam,termasuk yang menyangkut kehidupan
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar