Minggu, 23 Februari 2014

Makalah Sejarah Lokal metode sejarah lokal



BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Metode Sejarah Lokal
Sejarah seha­rusnya ditulis oleh orang yang mempunyai kompetensi di bi­dang kesejarahan yang diharapkan mampu meneliti dan menulis dengan se­mangat kritis yang tinggi, dalam arti sejak pengumpulan data atau sumber sejarah (yang biasa disebut heuristik) sampai kepada tahap penulisannya (historio­grafi), harus dilakukan serang­kaian kritik sehingga dapat diha­silkan suatu tulisan sejarah yang didasarkan atas fakta-fakta yang benar-benar teruji dan da­pat diandalkan. Untuk menca­painya sejarah harus ditulis melalui prosedur yang disebut Me­tode Sejarah. Metode ini mempunyai empat tahapan yang integral, yakni Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi.
Metode sejarah dibangun dari dua kata, yaitu metode dan sejarah. Kata metode memiliki arti cara atau prosedur yang sifatnya sistematis. Sedangkan sejarah memiliki arti rekonstruksi masa lampau. Jadi, metode sejarah dapat diartikan sebagai cara atau prosedur yang sistematis dalam merekonstruksi masa lampau.Terdapat empat langkah metode sejarah yang wajib hukumnya dilaksanakan oleh sejarawan dalam menulis karya sejarah. Empat langkah tersebut ialah :
1.      Heuristik
Pertama – tama perlu disadari, bahwa dalam kegiatan heuristik ditingkat lokal Indonesia, sulit mengharapkan tersedianya sumber – sumber sejarah lokal yang begitu bervariasi. Tradisi penulisan sejarah dengan tekanan pada daerah – daerah tertentu itu masih terus berlanjut sampai sekarang. Tradisi penulisan sejarah sepertu ini disebut sebagai karya sejarah “amatitan”oleh kalangan sejarah profesional, dan dianggap kurang bermutu dilihat dari disiplin ilmu sejarah. Sudah ada berbagai batasan yang dikemukakan oleh berbagai sejarawan tetapi banyak
aspek-aspek pengertiannya yang masih bisa diperdebatkan lebih lanjut. Malah seorang sejarawan lokal Inggris yang terkenal H.P.R Finberg dalam bukunya lokal History, objective dan Persuit tidak ada mengemukakan rumusan yang eksplisit tentang apa sejarah lokal itu. Istilah sejarah lokal dan sejarah daerah digunakan secara berganti-ganti tanpa suatu penjelasan yang tegas. Sejarawan Taufik Abdullah dalam bukunya Sejarah Lokal di Indonesia ada memasalahkan penggunaan kedua istilah tersebut. Menurut Budhi Santoso, Etnohistory bisa diterjemahkan sebagai”sejarah suku bangsa atau sejarah etnis”. Istilah sejarah etnis ini dijelaskan lebih lanjut oleh Budhi Santoso sebagai suatu rentetan kejadian atau peristiwa dimasa lampau tentang suatu kategori sosial yang menyatakan dirnya dan dikenal orang lain sebagai kelompok sosial yang lain. Kajian sejarah lokal perlu memperhatikan empat langkah utama dalam kegiatannya. Keempat langkah itu ialah pertama berupa usaha mengumpulkan jejak atau sumber sejarah,kemudian yang kedua adalah usaha untuk menyeleksi atau menyaring jejak atau sumber sejarah, selanjutnya menyusul langkah ketiga berupa usaha menginterpretasikan hunungan fakta yang satu dengan fakta yang lainnya yang mewujudkan peristiwa tertentu dan akhirnya langkah yang keempat adalah penulisan sejarah. Usaha untuk menelusuri jejak-jejak sejarah sebagai langkah permulaan dari prosedur kerja sejarawan sering disebut sebagai heuristik, dari kata Yunani ”heurisken” yang berarti menemukan. Salah satu klasifikasi sederhana yang dikenal dikalangan sejarawan adalah pembagian berupa jejak yang ditinggalkan tidak dengan sengaja oleh manusia dalam kegiatannya sehari-hari dan yang dengan sengaja. Sejarawan lokal sudah bisa memperhitungkan mana-mana jejak non material, jejak material, jejak tertulis dan jejak yang disebut representasional.Jejak material yang dengan sendirinya bersifat konkrit,terdiri dari berbagai macam benda, artefak-artefak, buat barang-barang lainnya yang dihasilkan oleh manusia di waktu yang lampau,sepert berbagai alat rumah tangga, alat pertanian, berbagai jenis mesin, kendaraan lukisan, patung dan lain-lain.
Heuristik artinya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang terkait dengan topik penelitian. Sumber sejarah berserakan dimana-mana, baik di perpustakaan, arsip, atau museum. Tugas pertama sejarawan dalam menulis
sejarah adalah mencari dan mengumpulkan sumber yang berserakan itu. Heuristik adalah kegiatan ber­upa penghimpunan jejak-jejak masa lampau, yakni peninggalan sejarah atau sumber apa saja yang dapat dijadikan informasi dalam pengeritian studi sejarah.
Louis Gottchalk (1975) telah memilah heuristik, sebagai berikut :
Ø  pertama: memilih memilih subjek. Dalam memilih subjek, heuristik harus merujuk kepada empat pertanyaan pokok, yakni : dimana, siapa, bilamana, dan apa. Pertanyaan tersebut berke­naan dengan aspek geografis, biografis, kronologis, fungsio­nal atau okupasional. Dari pertanyaan pokok itulah ber­bagai keharusan konseptual dilakukan dan berbagai pro­ses pengerjaan penelitian dan penulisan dijalani. Perta­nyaan tersebut berfungsi un­tuk menentukan penting atau tidaknya suatu peristiwa dite­liti. Juga sebagai alat untuk menentukan hal-hal mana yang bisa dijadikan “fakta se­jarah”. Pendek kata fokus yang bersitat interogatif terse­but akan menuntun sejara­wan kepada subjek, sehingga terhindar dari fokus yang yang ngawur atau tidak perlu.
Ø  Kedua, informasi tentang subjek, yang dapat dapat diperoleh dari berbagai macam sumber, yakni:
1.      Rekaman sezaman yang ter­diri dari instruksi atau perintah, rekaman stenografis dan fonografis, surat niaga dan hukum, serta buku catatan pribadi dan memorandum prive;
2.      Laporan konfiden­sial yang terdiri berita resmi militer dan diplomatik, jurnal atau buku harian, dan surat-surat pribadi;
3.      Laporan-la­poran umum yang terdiri dari laporan dan berita surat ka­bar, memoar dan otobiografi, sejarah “resmi” suatu in­stansi, perusahaan dan seje­nisnya.
4.      Quesionaris tertu­lis;
5.      Dokumen pemerintah dan kompilasi, terdiri dari ri­salah instansi pemerintah, undang-undang dan per­aturan;
6.      Pernyataan opini, terdiri tajuk rencana, esei, pi­dato, brosur, surat

kepada re­daksi, dan sejenisnya;
7.      Fiksi, nyanyian, dan puisi;
8.      Folklore, nama tempat, dan pepatah.
Delapan sumber informasi ter­sebut bukanlah sumber sejarah dalam arti sebenarnya. Artinya ia hanya sebagai sarana untuk mencari keterangan tentang sub­jek. Sedangkan sumber sejarah itu sendiri adalah hasil yang di­peroleh dari pencarian informasi tersebut yang nantinya diguna­kan dalam penulisan sejarah se­telah melalui tahapan pengujian.
Tentang sumber sejarah, Nu­groho Notosusanto (1978:36) telah mengklasifikasikannya ke dalam tiga bentuk yang seder­hana yakni:
  1. Sumber benda; menyangkut benda-benda arkeologis, efigrafi, numistik, dan benda sejenis lainnya;
  2. Sum­ber tertulis, terdiri dari buku-buku dan dokumen;
  3. Sumber lisan, terdiri dari hasil wawan­cara dan tradisi lisan (oral tradi­tion).
Hasil pengerjaan studi sejarah yang akademis atau kritis memerlukan fakta-fakta yang telah teruji. Oleh karena itu data-data yang diperoleh melalui tahapan heuristik terlebih dahulu harus dikritik atau disaring sehingga diperoleh fakta-fakta yang seobjektif mung­kin. Kritik tersebut berupa kritik tentang otentitasnya (kritik ekstern) maupun kredibilitas isinya (kritik intern), dilakukan ketika dan sesudah pengumpulan data berlangsung. Ada beberapa teknik pengum­pulan data yang dapat dipergunakan dalam metode se­jarah, seperti: studi kepusta­kaan, pengamatan lapangan, wa­wancara (interview). Dapat pula digunakan teknik lain seperti questionnaires, pendekatan te­matis (topical approach) beserta berbagai perangkat ilmu bantu lainnya, terutama digunakan ter­hadap topik yang mengarah ke­pada studi kasus (case study).
  1. Kritik
Kritik dilakukan oleh sejarawan manakalah sumber-sumber sejarah telah
dikumpulkan. Bisa dikatakan proses kedua ini adalah proses penyeleksian sumber. Sumber itu banyak dan harus diseleksi sesuai kebutuhan sejarawan. Proses kritik meliputi dua macam yaitu kritik eksternal dan internal.
Ø  Kritik eksternal wajib dilakukan oleh sejarawan untuk mengetahui otentisitas atau keaslian sumber. Kritik eksternal meliputi tanggal dokumen, bahan dokumen (kertas, tinta,dan gambar air), isi dokumen (gaya tulisan,huruf ), apakah sumber turunan (salinan atau fotokopi) atau asli, serta apakah sumber utuh atau telah diubah. Jika semua poin tadi sesuai dengan zamannya dengan mengecek sumber sezaman, maka dapat dipastikan bahwa sumber tersebut otentik atau asli.
Ø  Kritik internal wajib dilakukan sejarawan untuk mengetahui kredibilitas sumber. Kredibilitas meliputi kemampuan dan kejujuran. Apakah sumber itu mampu mengatakan kebenaran (kedekatan dengan peristiwa, keahlian, dan kehadiran dalam peristiwa) dan apakah sumber itu mau mengatakan kebenaran. Jika kedua pertanyaan tersebut telah diajukan kepada sumber maka akan dapat diketahui kredibilitas sumber tersebut.
Sumber sejarah yang telah dikritik menjadi data sejarah. Data sejarah belum bisa dikatakan fakta sejarah. untuk menjadi fakta sejarah maka data sejarah harus dikoroborasikan atau didukung oleh data sejarah lainnya. Dukungan tersebut akan menghasilkan fakta sejarah yang mendekati kepastian atau hanya dugaan. Bisa saja satu data sejarah menjadi fakta sejarah, selama tidak ada pertentangan di dalamnya, ini dinamakan prinsip argumentum ex silentio. Hasil pengerjaan studi sejarah yang akademis atau kritis me­merlukan fakta-fakta yang telah teruji. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh melalui tahapan heuristik terlebih dahulu harus dikritik atau disaring sehingga diperoleh fakta-fakta yang sob­jektif mungkin. Kritik tersebut berupa kritik tentang otentitas­nya (kritik ekstern) maupun kre­dibilitas isinya (kritik intern), di­lakukan ketika dan sesudah pengumpulan data berlangsung. Kritik ekstern terhadap sum­ber lisan kalau memang meng­gunakan teknik wawancara dilakukan terhadap para informan yang akan diwawancarai. In­forman harus memiliki kemampuan untuk memberikan
kete­rangan yang sebenarnya. Hal itu dapat dilihat dari keterlibatan­nya atas suatu peristiwa, serta tingkat keintelektualannya. Ca­ranya antara lain dengan jalan meminta keterangan kepada para informan tentang keterli­batan informan lainnya atas peristiwa tersebut. Faktor usia juga menentukan dan sedapat mung­kin diperlukan informan yang se­zaman dan pernah berkiprah pada peristiwa yang diteliti. Se­dangkan kritik intern terhadap sumber lisan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan beberapa hasil wawancara an­tara informan yang satu dengan yang lainnya, yang juga diban­dingkan dengan sumber sejarah lainnya. Perbandingan itu perlu dilakukan terutama terhadap versi cerita yang berbeda-beda tentang sesuatu peristiwa. Sema­kin banyak versi cerita semakin mudah untuk memperoleh fakta yang sebenarnya. Tentang hal ini ada baiknya dibaca pengalaman Anton Lucas dalam Koentjaraningrat dan Donald K. Emerson, editor (1982) yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh para kandidat ahli atau peminat sejarah.
Kritik ekstern terhadap sum­ber tertulis perlu dilakukan agar tidak terperangkap kepada doku­men palsu. Oleh karena itu perlu dipertanyakan tentang otentik atau tidak sejatinya suatu sumber. Juga perlu diketahui ten­tang asli dan utuhnya sumber-sumber. Kalau sebuah dokumen tidak lagi utuh atau cacat, seo­rang sejarawan harus mengada­kan restorasi teks agar doku­men tersebut kembali utuh da­lam arti isi yang terkandung dapat diterima secara ilmiah. Untuk itu diperlukan berbagai ilmu bantu sejarah yang dapat memberikan penjelasan yang lo­gis atas dokumen tersebut, se­perti arkeologi, filologi, dan se­bagainya. Masalah anakronistis suatu sumber perlu juga diketa­hui. Masalah ini berkenaan de­ngan apakah materi sumber; tu­lisan, tanda tangan, materai, cap atau stempel, serta langgam dan peristiwa yang terekam di dalam dokumen tersebut cocok dengan zamannya. Kalau tidak cocok, berarti dokumen tersebut anakronistis dan tidak bisa diguna­kan sebagai fakta sejarah.
Kritik intern terhadap sumber tertulis terutama dilakukan de­ngan jalan melihat kompetensi, atau kehadiran pengarang terha­dap waktu atau peristiwa. Ke­pentingan pengarang, sikap berat sebelah serta motif peng­arang, juga sangat perlu
untuk diketahui guna menentukan kre­dibilitas isi tulisan. Sedangkan terhadap sumber tertulis berupa dokumen, dilakukan dengan me­lihat segi semantik, hermeneu­tik, dan pemahaman terhadap historical mindedness. Masa­lah semantik (arti kata) berke­naan dengan kemampuan me­mahami secara tepat tentang arti sebuah kata, istilah, maupun konsep yang ada dalam sebuah dokumen. Dan, masalah herme­neutik berkenaan dengan peng­halusan suatu kata atau istilah sehingga mengaburkan arti yang sebenarnya. Sedangkan masalah historical mindedness berkenaan dengan kemampuan memahami hal-hal kesejarahan dengan jalan “meluluhkan” jiwa dan pi­kiran sesuai dengan kondisi ke­sejarahan, dan tidak mengguna­kan ukuran sekarang untuk “mengukur” masa lampau terse­but. Oleh karena itu, kadangkala diperlukan pengetahuan dan penghayatan kultural tentang si­tuasi dan kondisi dimana dokumen tersebut dibuat.
Mengenai kritik intern secara teoritisi langkah ini baru dilaksanakan sesudah kritik ekstern selesai menentukan bahwa dokumen yang kita hadapi memang dokumen yang kita cari,yang bukan saja dokumen yang berarti relevan dengan topik yang sedang disusun, tapi lebih penting lagi bahwa sumber-sumber itu adalah sumber-sumber yang otentik. Kritik intern sebenarnya terutama ditujukan pada sumber berupa dokumen karena menyangkut sifat informasi dalam kaitan dengan posisi dari sumber pemberi informasi dengan peristiwanya. Oleh sebab itu, kritik intern terutama mempertanyakan dua hal pokok. Pertama, apakah pembuat kesaksian mampu member kesaksian yang menyangkut antara lain hubungannya dengan peristiwanya.
  1. Interpretasi
Interpretasi adalah proses pemaknaan fakta sejarah. Dalam interpretasi, terdapat dua poin penting, yaitu sintesis (menyatukan) dan analisis (menguraikan). Fakta-fakta sejarah dapat diuraikan dan disatukan sehingga mempunyai makna yang berkaitan satu dengan lainnya. Data atau sumber sejarah yang dikritik akan menghasilkan fakta yang akan digunakan dalam penulisan sejarah. Namun demikian, sejarah itu sendiri bu­kanlah kumpulan dari fakta, parade tokoh,
kronologis peristiwa, atau deskripsi belaka yang apa­bila dibaca akan terasa kering karena kurang mempunyai makna. Fakta-fakta sejarah ha­rus diinterpretasikan atau ditaf­sirkan agar sesuatu peristiwa da­pat direkonstruksikan dengan baik, yakni dengan jalan menye­leksi, menyusun, mengurangi te­kanan, dan menempatkan fakta dalam urutan kausal. Dengan demikian, tidak hanya perta­nyaan dimana, siapa, bilamana, dan apa yang perlu dijawab, te­tapi juga yang berkenaan dengan kata mengapa dan apa jadinya.
Dalam interpretasi, seorang se­jarawan tidak perlu terkungkung oleh batas-batas kerja bidang sejarah semata, sebab sebenarnya kerja sejarah melingkupi se­gala aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk mema­hami kompleksitas sesuatu per­istiwa, maka mau tidak mau se­jarah memerlukan pendekatan multidimensi. Dengan demikian, berbagai ilmu bantu perlu diper­gunakan dengan tujuan mem­pertajam “pisau analisis” se­hingga diharapkan dapat dipero­leh generalisasi ke tingkat yang lebih sempurna.Perlu pula dikemukakan di­ sini, bahwa dalam tahapan interpretasi inilah subjektifitas seja­rawan bermula dan turut mewarnai tulisannya dan hal itu tak dapat dihindarkan. Walau demikian, seorang sejarawan ha­rus berusaha sedapat mungkin menekan subjektifitasnya dan tahu posisi dirinya sehingga nantinya tidak membias ke dalam isi tulisannya.
  1. Historiografi
Tahap keempat ini adalah tahap terakhir metode sejarah. Setelah sumber dikumpulkan kemudian dikritik (seleksi) menjadi data dan kemudian dimaknai menjadi fakta, langkah terakhir adalah menyusun semuanya menjadi satu tulisan utuh berbentuk narasi kronologis. Imajinasi sejarawan bermain disini, tetapi tetap terbatas pada fakta-fakta sejarah yang ada. Semuanya ditulis berdasarkan urut-urutan waktu. Keempat proses ini harus dipahami oleh sejarawan khususnya dan masyarakat pada umumnya. Tidak lain tidak bukan untuk memberikan pemahaman kepada kita semua, bahwa sejarah bangsa ini harus ditulis dengan kualitas baik, tidak asal-asalan. Keilmiahan sejarah pun terletak disini. Semoga tulisan ini membantu kita memahami sejarah dan mulai bergerak untuk menulis

sejarah bangsa ini.
Historiografi adalah penyajian hasil interpretasi fakta dalam bentuk tulisan. Dapat dikatakan historiografi sebagai puncak dari rangkaian kerja seorang sejara­wan, dan dari tahapan inilah da­pat diketahui “baik buruknya” hasil kerja secara keseluruhan. Oleh karena itu dalam penulisan diperlukan kemampuan menyu­sun fakta-fakta yang bersifat fragmentaris ke dalam tulisan yang sistematis, utuh, dan ko­munikatif. Dalam historiografi modern (sejarah kritis), seorang sejarawan yang piawai tidak lagi terpaku ke­pada bentuk penulisan yang naratif atau deskriptif, tetapi de­ngan multidimensionalnya le­bih mengarah kepada bentuk yang analitis karena dirasakan lebih scientific dan mempunyai kemampuan memberi kete­rangan yang lebih unggul diban­dingkan dengan apa yang ditampilkan oleh sejarawan konvensio­nal dengan sejarah naratifnya.
2.2. Corak Studi Sejarah Lokal
Sejarah lokal hanyalah sejarah dari suatu tempat, suatu “locality” yang batasnnya ditentukan oleh “perjanjian” yang diajukan penulis sejarah. Secara garis besar corak studi sejarah local yang pernah dilakukan tentang Indonesia dapat dibedakan atas empat golongan. Keempat golongan itu ialah:
  1. Studi yang difokuskan pada suatu peristiwa tertentu. Studi yang mengadakan rekontruksi terperinci dari suatu peristiwa yang memperlihatkan sumber dan pola dari dinamik sosial yang melatarbelakangi sebuah peritiwa sejarah. Sebagai contoh, karya Sartono Kartodirdjo berjudul Pemberontakan Petani di Cilegon Banten pada tahun 1888.
  1. Studi yang lebih menekankan pada struktur. Studi yang menekankan pada struktural terlihat pada penulisan sejarah yang menguasi peristiwa-peristiwa yang membawa pada suatu munculnya peritiwa akibat struktur suatu masyarakat. Contohnya, MC. Ricklef dalam Sultan Hamengkubuwana I (Mangkubumi) di Yogyakarta.
  1. Studi yang mengambil perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu tertentu (studi tematis). Corak studi tematis menekankan pada perkembangan suatu aspek social, suatu proses, sedangkan pencarian struktur lebih sadar dilakukan sebagai usaha untuk mengerti aspek yang diteliti itu. Studi yang bersandar pada patokan bahwa daerah dan aspek yang diteliti tidak terlepas dari konteks politik dan gejala daerah yang lebih luas. Contohnya, karya Onghokham tentang kehidupan petani dan priyayi di Karesidenan Madiun pada abad ke-19.
  1. Studi sejarah umum yang menguraikan perkembangan daerah tertentu (propinsi, kota, kabupaten) dari masa ke masa. Studi umum dari sejarah lokal yang menguraikan sejarah suatu daerah dari masa sampai perkembangan mutakhir dari suatu periode. Contohnya, tulisan M. Said tentang Aceh.
Dilihat dari fokus serta pendekatan metodologis yang digunakan dalam studi sejarah lokal kritis analitis ini,maka Taufik Abdullah membedakan adanya empat corak penulisan diantaranya, yaitu :
  1. Corak pertama yang disebutnya sebagai”studi yang difokuskan pada suatu peristiwa tertentu.diambilkan contohnya pada karya Sartono Kartodirjo tentang pemberontakan petani di Daerah Cilegon Banten.
  2. Corak kajian sejarah lokal kritis yang kedua yang disebut oleh Taufik Abdullah sebagai studi yang lebih menekankan pada struktur dianggap bisa ditemukan contohnya pada karya Clifford Geertz tentang suatu kota kecil di Jawa Timur.Sebagai seorang ahli antropologi maka yang ditekankan ialah menemukan struktur sosial atas dasar yang mana berbagai peristiwa historis itu dicarikan wadahnya sekaligus penjelasannya.
  3. Jenis studi sejarah local kritis yang ketiga adalah studi yang mengambil aspek tertentu dalam kurun waktu tertentu dari masa ke masa.Di Sini yang ditekankan ialah pembahasan atau tema yang mencerminkan suatu aspek serta proses sosial tertentu yang kemudian dicarikan penjelasannya pada kaitannya struktur yang lebih luas yang dianggap sebagai pangkal dari aspek serta proses sosial yang diteliti.
  4. Mengenai corak yang keempat dari Tipologi Abdullah yaitu studi sejarah umum yang menguraikan perkembangan daerah tertentu dari masa ke masa.Sifat popular dari sejarah lokal jenis ini antara lain ditujukkan dengan corak uraian yang naratif kronologis.Adapun tujuan utama dari usaha membuat tipologi sejarah lokal ini ialah untuk menunjukkan posisi dan pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sejarah lokal atas dasar mana yang bisa digalang saling pengertian akan peran serta dan tanggungjawab masing-masing pihak.

Ø  Sejarah lokal tradisional.
Sejarah lokal tradisional bisa dikatakan merupakan tipe sejarah local yang pertama-tama muncul di Indonesia. Sifat lokalitasnya dengan sendirinya mudah dimengerti karena belum berkembangnya kesadaran akan kesatuan antar etnik yang meliputi seluruh Indonesia seperti sesudah kebangkitan nasionalisme pada permulaan abad 20. Penyusun-penyusun sejarah lokal tradisional bisa diduga adalah tokoh-tokoh intelektual tradisional yang juga tidak bisa dibandingkan dengan isi kitab-kitab sejarah modern karena yang dipentingkan adalah tujuan untuk mengabadikan pengalaman-pengalaman kelompok masyarakat itu dan cara membuat uraiannya juga sesuai dengan alam pikiran masyarakat tradisional itu. Penyusun-penyusun sejarah lokal tradisional tidak bisa dibandingkan dengan sejarawan local professional yang berlatar pendidikan kesejarahan khusus.Salah satu hal yang perlu diketahui juga bahwa penulis sejarah lokal tradisional ini jarang ditampilkan,karena penonjolan individu dalam masyarakat tradisional ini kurang dipentingkan.

Ø  Sejarah Lokal Kolonial.
Sejarah lokal kolonial merupakan suatu kategori tersendiri dalam tipologi sejarah lokal,terutama karena beberapa karakteristik yang dimilikinya.Karakteristik yang pertama dari sejarah lokal jenis ini ialah bahwa
sebagian besar dari penyusunnya adalah pejabat-pejabat kolonial di daerah-daerah.Laporan itu bisa berupa memori serah jabatan atau laporan khusus kepada pemerintah pusat di Batavia tentang suatu perkembangan khusus di daerah kekuasaan pejabat bersangkutan atau bisa juga suatu laporan penjajagan atas wilayah-wilayah tertentu di Indonesia yang sedang diincar oleh pemerintah kolonial untuk dimasukkan dibawah pengaruhnya secara langsung atau tidak langsung. Salah satu karakteristik yang paling mudah dilihat pada sejarah lokal kritis analitis ialah sifat uraian atau pembahasan masalahnya yang telah menggunakan pendekatan metodologis sejarah yang bersifat ketat.Mulai dari pemilihan objek studi,langkah-langkah atau prosedur kerja sampai ke penulisan laporan pada umumnya didasarkan pada konsep-konsep metodologis yang mantap.

Ø  Sejarah Lokal Dan Tradisi Lisan.
            Kebiasaan penyusunan sejarah tidak bisa dilepaskan dari budaya suatu masyarakat .Pernyataan ini bisa dihubungkan dengan penegasan Sartono Kartodirjo yang menyatakan bahwa”penulisan sejarah sebagai salah satu bentuk perwujudan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kultur dan oleh karena itu senantiasa hidup dan bergerak. Sebagai suatu aspek budaya maka kepentingan untuk menjelaskan atau memahami lingkungan sekitar itu adalah sekaligus sebagai usaha untuk memberi pegangan pada masyarakat terutama generasi berikutnya dalam menghadapi berbagai kemungkinan dari lingkungan itu.Di sini tradisi lisan berfungsi sebagai alat ”mnenomik”,yaitu usaha untuk merekam,menyusun dan menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Isi ceritanya juga makin lama makin dibumbui dengan imbuhan yang disesuaikan dengan alam pikiran yang bersifat magis religius.Pelaku-pelaku utama ceriteranya misalnya misalnya digambarkan sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian tertentu yang mampu melakukan perbuatan-perbuatan yang penuh dengan kegaiban. Unsur yang terpenting dari tradisi lisan.Seperti yang telah dikemukakan oleh vansina adalah pesan-pesan verbal berupa pernyataan-pernyataan yang pernah dibuat di masa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini. Menurut Vansina,Tradisi lisan bisa dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :
  1. Berupa petuah-petuah yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi kelompok,yang biasanya disusun berulang-ulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang diharapkan jadi pegangan bagi generasi-generasi berikutnya.
  2. Dari kisah tentang kejadian-kejadian disekitar kehidupan kelompok,baik sebagai kisah perseorangan atau sebagai kelompok.
  3. Adapum bentuk tradisi lisan yang ketiga adalah yang sering disebut”ceritera kepahlawanan”,yang berisi bermacam-macam gambaran tentang tindakan-tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasanya berpusat pada tokoh-tokoh tertentu dari kelompok itu.
  4. Tradisi lisan yang terakhir yang disebutkan oleh Vansina adalah yang bisa dimasukkan sebagai berbagai bentuk ceritera”dongeng” yang umumnya bersifat fiksi belaka.Tradisi lisan sering dihubungkan dngan apa yang biasa disebut folklore,karena folklorejuga menyangkut tradisi dalam kelompok masyarakat tertentu.
           
Ø  Sejarah Lokal Dan Historiografi Tradisional. .
            Harus diakui bahwa masyarakat tradisional kita mempunyai cara-cara khusus dalm memandang peristiwa-peristiwa khusus dilingkungannya sejalan dengan konsep-konsep sosio budaya jamannya CC Berg sendiri sebenarnya sejak lama mendalami karakteristik dari karya-karya sejarah tradisional ini,dimana dari salah satu karangannya dalam tahun 1938,dia antara lain mengemukakan beberapa cirinya yang khusus sebagai berikut: Salah satu hal yang dianggap oleh Berg cukup berpengaruh terhadap karya-karya sastra sejarah yaitu adanya kepercayaan tentang kekuatan”sakti”,yang menjadi pangkal dari berbagai peristiwa alam,termasuk yang menyangkut kehidupan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar