Minggu, 23 Februari 2014

SNI IV Sistem Sewa Tanah



BAB II
PEMBAHASAN
            SISTEM SEWA TANAH
2.1. Pendahuluan
Tidak lama setelah kepergian Gubernur Jenderal Daendeles dari Indonesia, Jawa diduduki oleh Inggris dalam tahun 1811. Zaman pendudukan Inggris ini hanya berlangsung selama lima tahun, yaitu 1811-1816, akan tetapi selama waktu ini telah diletakkan dasar-dasar kebijaksanaan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintah kolonial Inggris.
Azas-azas pemerintahan sementara Inggris ini ditentukan oleh Letnan Gubernur Raffles, yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada hakekatnya, Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang di jalankan oleh kompeni Belanda (VOC) dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati. Secara konkrit Raffles ingin menghapus segala penyerahan wajib dan pekerjaan rodi yang selama zaman VOC selalu di bebankan kepada rakyat, khususnya pada petani. Kepada para petani ini Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebabasan berusaha.
Dalam hal ini pandangan Raffles dalam banyak hal sama dengan pandangan seorang pejabat Belanda dari akhir zaman VOC yang bernama Dirk Van Hogendorp.  Van Hogendorp ini telah menarik kesimpulan dari pengamatannya di Indonesia bahwa sistem Feodal yang terdapat di Idonesia pada waktu itu berhasil dimanfaatkan oleh VOC yang mematikan segala daya usaha rakyat Indonesia. Oleh karena itu ia menganjurkan agar kekuasaan , khususnya
hak kuasa tanah para Bupati atas rakyat, untuk mengetahui mencapai tujuannya dalam memperoleh hasil-hasil bumi di Indonesia, VOC telah mempergunakan Raja-Raja dan para Bupati sebagai alat dalam kebijaksanaan dagangannya. Sebagai pengganti sistem paksa yang berlaku hingga waktu itu, Van Hogendorp menganjurkan agar para petani diberikan kebebasan penuh dalam menentukan tanaman-tanaman apa yang hendak di tanam mereka maupun dalam menentukan bagaimana hasil panen mereka hendak dipergunakan. Di bawah sistem VOC kebebasan ini tidak ada.
Raffles sendiri menentang sistem VOC karena keyakinan-keyakinan politiknya yang disebut Liberal, maupun karena berpendapat bahwa sistem ekploitasi seperti yang telah dipraktekkan oleh VOC tidak menguntungkan. Raffles berkehendak sebagai pengganti sistem VOC adalah suatu sistem pertanian di mana para petani atas kehendak sendiri menanam tanaman dagangan (Cash Crops) yang dapat di ekspor dalam luar negeri. Dalam hal ini pemerintahan kolonial hanya berkewajiban untuk menciptakan segala pasaran yang diperlukan guna merangsang para petani untuk menanam tanaman-tanaman ekspor yang paling menguntungkan.
Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru, Raffles ingin berpatokan pada tiga azas, yaitu :
  1. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu di hapuskan dan kebebasan penuh di berikan kepada rakyat untuk menentukan jenis tanaman apa yang hendak di tanam tanpa unsur paksaan apapun juga.
  2. Peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian yang integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan azas-azas pemerintahan di negeri-negeri
Barat. Secara konkrit hal ini berarti bahwa para Bupati dan Kepala-Kepala pemerintahan pada tingkat rendahan harus memusatkan perhatiannya kepada proyek-proyek pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk.
  1. Berdasarkan anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (Tenant) tanah milik pemerintah. Untuk penyewahan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah (Land-Rent) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. Sewa inilah selanjutnya yang dijadikan dasar kebijaksanaan ekonomi pemerintahan Inggris di bawah Raffles kemudian dari pemerintah Belanda sampai tahun 1830.
Sistem sewa tanah kemudian dikenal dengan nama Landelijk Stelsel bukan saja diharapkan dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada para petani serta merangsang juga arus pendapatan negara yang mantap. Jadi perubahan ini pada dasarnya bukan merupakan perubahan ekonomi semata-mata tetapi suatu perubahan sosial-budaya yang menggantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan ikatan kontrak yang belum pernah di kenal. Dengan demikian maka dasar kehidupan masyarakat Jawa yang tradisional hendak digantikan dengan dasar kehidupan masyarakat di negara-negara Barat. Demikian sistem ekonomi yang didasarkan atas lalulintas pertukaran yang bebas.
2.2. Pelaksanaan
Sistem sewa tanah ini tidak meliputi seluruh pulau Jawa. Misalnya, didaerah-daerah sekitar Jakarta pada waktu itu Batavia maupun daerah-daerah Parahiyangan sistem sewa tanah tidak diadakan, karena daerah-daerah sekitar Jakarta pada umumnya adalah milik swasta, sedangkan di daerah Parahiyangan pemerintah kolonial berkeberatan untuk menghapus sistem tanam paksa kopi yang memberi keuntungan besar. Oleh karena itu daerah
Parahiyangan tidak pernah mengenal suatu fase menengah yang agak bebas diantara dua masa yang dicirikan oleh unsur paksaan dalam keadaan ekonomi, seperti telah dikenal oleh daerah-daerah lain di Jawa , melainkan daerah ini terus-menerus hanya mengenal sistem tradisional dan feodal sampai tahun 1870.
Raffles hanya berkuasa untuk waktu yang singkat di Jawa, yaitu lima tahun dan terbatasnya pegawai-pegawai yang cukup serta dana-dana keuangan yang menyebabkan Raffles tidak sanggup melaksanakan segala peraturan yang berkaitan dengan sistem sewa tanah. Meskipun demikian  gagasan –gagasan Raffles mengenai kebijaksanaan ekonomi kolonial yang baru mempengaruhi pejabat-pejabat pemerintahan Belanda tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan politik atas Pulau Jawa dari pemerintahan Inggris.
LKebijaksanaan Raffles diteruskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang baru, yaitu :
  1. Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van Der Capellin (1816-1819)
  2. Gubernur Jenderal Van Der Capellin (1819-1826)
  3. Komisaris Jenderal Du Bus De Gisignies (1826-1830)
  4. Gubernur Jenderal Van Den Bosch dalam tahun 1830
Sistem sewa tanah baru di hapuskan dengan kedatangan seorang Gubernur Jenderal baru, yaitu Van Den Bosch dalam tahun1830 yang menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dagangan dalam bentuk yang lebih keras dan efisien daripada di bawah VOC.
           

Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung tiga aspek, yaitu :
  1. Penyelenggaraan satu sistem pemerintahan atas dasar-dasar modern.
  2. Pelaksanaan pemungutan sewa.
  3. Penanaman tanaman dagangan untuk di ekspor.
Ø  Mengenai aspek yang pertama, apa yang dimaksud oleh Raffles dengan pemerintahan yang modern adalah penggantian pemerintahan-pemerintahan tidak langsung yang dahulu di selenggarakan melalui Raja-Raja dan kepala tradisional dengan suatu pemerintahan yang langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasan tradisional Raja-Raja dan kepala tradisional sangat di kurangi dan sumber penghasilan mereka yang tradisional di hilangkan. Fungsi-fungsi pemerintahan yang mereka laksanakan samapai waktu itu, sekarang dilakukan oleh pegawa-pegawai Eropa, yang jumlahnya bertambah banyak. Oleh Raffles diadakan fungsi asisten-residen, yang bertugas untuk mendampingi dan mengawasi para bupati, dan “pengawas penghasilan yang diperoleh dari tanah” (opzieners der landelijke inkomsten) yang kemudian disebut pengawas pamongpraja (controleur van het binnenlands bestuur). Dengan makin bertambahnya pengaruh pejabat-pejabat bangsa Eropa, pengaruh para bupati pribumi makin berkurang dan pejabat-pejabat Eropa timbul pikiran untuk menghilangkan sama sekali jabatan bupati pribumi. Pada waktu Van Der Cappellen menerima jabatan sebagai gubernur jenderal dalam pemerintahan Belanda yang telah dipulihkan, pengaruh para Bupati sudah sangat berkurang di bandingkan dengan zaman VOC. Namun Van Der Capellen menyadari bahwa para Bupati mempunyai pengaruh tradisional yang besar atas rakyat dan ia juga menyadari bahwa pejabat-pejabat Eropa tidak pernah bisa menggantikan kedudukan sosial para bupati dalam masyarakat Jawa. Oleh karena itu
Van Der Capellen menempuh kebijaksanaan yang menghormati kedudukan sosial para bupati dan berusaha menggunakan kekuasaan serta pengaruh mereka untuk tujuan-tujuan pemerintah kolonial yang secara lambat laun kekuasaan efektif telah bergeser dari para Bupati pejabat-pejabat Eropa. Sejak dahulu untuk jasa-jasa mereka para bupati di berikan tanah dan menurut adat kebiasaan mereka maupun pekerjaan rodi dari penduduk yang tinggal di atas tanah. Di bawah Raffles kebiasaan ini di hapus dan para Bupati kemudian mulai diberi gaji dalam bentuk uang untuk jasa-jasa mereka pada pemerintah kolonial. Dengan putusnya hubungan antara Bupati dan tanah, lenyaplah kewajiban rakyat untuk melakukan penyerahan wajib pekerjaan rodi untuk para bupati. Dalam menilai keberhasilan perubahan yang diadakan dalam kedudukan para bupati bahwa secara marginal terjadi pembatasan dalam kekuasaan para bupati. Meskipun pemerintah kolonial secara resmi telah menghapus kebiasaan rodi ini namun kebiasaan tradisional ini tetap diteruskan.
Ø  Mengenai aspek yang kedua yaitu pelaksanaan pemungutan sewa tanah. Selama zaman VOC “Pajak” berupa beras yang harus di bayar oleh rakyat Jawa kepada VOC ditetapkan secara kolektif untuk seluruh desa. Dalam mengatur pemungutan wajib ini para kepala desa oleh VOC diberikan kebebasan penuh untuk menetapkan jumlah-jumlah yang harus di bayar oleh masing-masing petani. Kebebasan ini mengakibatkan tindakan-tindakan sewenang-sewenang yang merugikan rakyat. Sebagai seorang Liberal Raffles menentang kebiasaan ini. Berdasarkan keyakinannya bahwa penduduk Jawa harus dapat menikmati kepastian hukum, maka ia mempertimbangkan penetapan pajak secara perorangan. Peraturan mengenai penetapan pajak berupa pajak tanah yang harus dibayar oleh perorangan dan bukan lagi oleh desa sebagai keseluruhan di keluarkan dalam tahun 1814. Daerah pertama yang terkena peraturan ini adalah
Banten. Akan tetapi tidak lama kemudian ternyata pelaksanaan pemungutan pajak secara perorangan mengalami banyak kesulitan karena tidak tersedianya bahan-bahan keterangan yang baik dan dapat dipercayai untuk penetapan jumlah pajak yang harus di bayar oleh tiap-tiap orang. Oleh karena itu penetapan pajak tidak dilakukan dengan tepat sehungga sering memperberat beban pajak untuk rakyat. Kesulitan-kesulitan ini mengakibatkan dalam tahun 1816, sewaktu kekuasaan atas pulau Jawa telah dikembalikan kepada Belanda, para komisaris Jenderal menghapus penetapan pajak secara kolektif untuk tiap-tiap desa sebagai keseluruhan.
Ø  Mengenai aspek ketiga dari sistem tanah adalah promosi penanaman tanaman-tanaman perdagangan untu ekspor. Pada umumnya eksperimen ini telah mengalami kegagalan. Misalnya, penanaman kopi yang pada awal abad ke 19 merupakan tanaman perdagangan terpenting di Jawa dan di bawah sistem sewa tanah mengalami kemunduran. Salah satu sebab dari kagagalan ini adalah kekurangan pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas, sehingga sering penjualan ini diserahkan kepala-kepala desa mereka. Hal ini mengakibatkan bahwa kepala-kepala dasa sering menipu petani itu sendiri atau si pembeli, sehingga akhirnya pemerintah kolonial terpaksa campur tangan lagi dengan mengadakan lagi penanaman paksa bagi tanaman-tanaman perdagangan.
2.3. Penilaian
            Pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama masa sistem sewa tanah berlaku, baik selama pemerintah sementara Inggris di bawah Raffles maupun selama pemerintahan Belanda di bawah para Komisaris Jenderal dan Gubernur Jenderal Van Der Capellen, menunjukkan bahwa usaha untuk mengesampingkan para Bupati dan kepala-kepala Desa
tidak berhasil. Ternyata mau tidak mau struktur feodal yang berlaku di masyarakat tradisional Jawa khususnya gengsi sosial yang dimilikipara Bupati dan Kepala Desa, perlu di mobilisasi lagi oleh pemerintah kolonial jika mereka mau mencapai tujuan mereka untuk mendorong penduduk menanam tanaman perdagangan yang diinginkannya. Oleh karena itu pelaksanaan sistem tanah ini tidak merata (uneven). Kadang-kadang di beberapa tempat terdapat penanaman secara bebas, tetapi penanaman bebas ini hanya formalitas belaka.
            Sistem sewa tanah ini mengakibatkan lebih meresapnya pengaruh politik maupun pengaruh sosial samapi batas tertentu ke dalam masyarakat Jawa, oleh karena usaha mengesampingkan para bupati untuk langsung berhubungan dengan para petani sendiri. Walaupun para bupati dapat di kesampingkan, hal yang tidak dapat dilakukan dengan kepala-kepala desa, yang harus dikerahkan untuk pemungutan pajak tanah. Oleh karena itu usaha sistem sewa tanah untuk mengandakan hubungan langsung dengan para produsen tanaman dagangan itu sendiri tidak berhasil.
            Ditinjau dari tujuan untuk meningkatkan tingkat kemakmuran penduduk di Jawa dan merangsang produksi tanaman dagangan, sistem sewa tanah dapat dikatakan telah mengalami kegagalan. Usaha-usaha untuk menghapus struktur masyarakat yang tradisional (feodal) dan memberikan kepastian hukum yang lebih besar kepada penduduk pun tidak berhasil.
            Sebab-sebab kegagalan sistem sewa tanah yang diterapkan Raffles di Jawa karena Raffles memperkenalkan kebijaksanaannya sangat di pengaruhi oleh azas-azas kolonial Inggris yang telah di tempuh di India. Kesalahan-kesalahan Raffles ialah bahwa ia mungkin telah melebih-lebihkan persamaan –persamaan yang menurut ia terdapat antara India dan Jawa sedangkan sebenarnya terdapat perbedaan-perbedaan yang besar dalam susunan masyarakat maupun dalam tingkat perkembamgan ekonomi.
Pada umumnya bahwa tingkat perkembangan ekonomi India adalah lebih tinggi daripada di Jawa. Misalnya :
Ø  Di  India sudah mengenal ekonomi uang (money economy) sejak abad ke 16 dan antara berbagai daerah di India terdapat lalu lintas perdagangan yang ramai, yang menunjukkan bahwa desa-desa di India bukan merupakan desa-desa yang hanya dapat mencukupi kebutuhan –kebutuhan mereka sendiri. Bahkan India juga mengenal perdagangan ekspor yang cukup ramai.
Ø  Dibandingkan di Jawa keadaan ekonominya pada abad ke 19 masih menunjukkan gambaran ekonomi yang menyeluruh. Bahkan sebaliknya hanya berdasarkan yang terlihat, yaitu desa-desa yang pada umumnya hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri tanpa banyak mengadakan perdagangan apalagi perdagangan ekspor. Selain kopi yang di peroleh dari penanaman paksa, Jawa pada abad ke 19 hanya mengekspor beras dalam jumlah yang terbatas dan beberapa barang lainnya yng tidak begitu berarti, yang di ekspor ke kepulauan Maluku.
Uraian diatas telah memperlihatkan mengapa kebijaksanaan Raffles yang kemudian di teruskan oleh pemerintah Hindia-Belanda sampai tahun 1830, mengalami kegagalan. Berlainan dengan rakyat India, penduduk di Jawa tidak biasa menghasilkan tanaman-tanaman untuk di ekspor atas usaha dan praktek mereka sendiri. Jika mereka tidak mendapat perintah dari atasan mereka, mereka tidak akan menanam tanaman dagangan yang menguntungkan sekalipun, melainkan hanya tanaman makanan. Hal ini sesuai dengan sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat memenuhi kebutuhan sendiri (self-sufficient).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar