Jumat, 23 Mei 2014

UTS Masa pendudukan Jepang dan Demokrasi Liberal



uts
(UJIAN TENGAH SEMESTER)
Description: F:\LOGO UNIVERSITAS\PGRI 2.jpg
DI SUSUN
OLEH :
Nama                             : Muhammad Deri Juniko (2011.131.044)
Semester / Kelas            : 6 / A
Mata Kuliah                   : Sejarah Nasional Indonesia VI
Dosen Pembimbing       : Nur Syafarudin, S.Pd., M.Pd
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2013/2014
JAWABAN UTS
Ø  Keadaan rakyat Indonesia masa pendudukan Jepang apabila dilihat dari susunan pemerintahannya, yaitu :
Susunan pemerintahan Jepang adalah:
  • Gunshiereikan (panglima tentara Jepang) dijabat oleh hitoshi Imamura,
  • Gunseikan (kepala pemerintahan militer) dijabat oleh seizaburo okasaki,
  • Gunseinbu (koordinator pemerintahan militer setempat) dijabat oleh semacam gubernur.
Pada setiap gunseibu ditempatkan beberapa komandan militer. Mereka mendapat tugas untuk memulihkan ketertiban dan keamanan, menanam kekuasaan, dan membentuk pemerintahan setempat. Jepang kekurangan tenaga pemerintahan yang sebenarnya telah dikirimkan, tetapi kapalnya tenggelam karena diserang oleh Sekutu dengan menggunakan torpedo. Oleh karena itu, dengan terpaksa diangkat pegawai-pegawai bangsa Indonesia.  Hal itu tentunya menguntungkan pihak Indonesia karena memperoleh pengalaman dalam bidang pemerintahan. Di Jawa Barat, pembesar militer Jepang menyelenggarakan pertemuan dengan para anggota Dewan Pemerintahan Daerah dengan tujuan untuk menciptakan suasana kerjasama yang baik. Gubernur Jawa Barat, Kolonel Matsui, didampingi oleh R. Pandu Suradiningrat sebagai wakil gubernur, sedangkan Atik Suardi diangkat sebagai pembantu wakil gubernur. Pada tanggal 19 April 1942, diangkat residen-residen berikut ini :
  • R. Adipati Aria Hilman Djajadiningrat di Banten (Serang)
  • R.A.A Surjadjajanegara di Bogor
  • R.A.A Wiranatakusuma di Priangan (Bandung)
  • Pangeran Ario Suriadi di Cirebon
  • R.A.A Surjo di Pekalongan
  • R.A.A Sudjiman Martadiredja Gandasubrata di Banyumas.
Di kota Batavia, sebelum namanya diubah menjadi Jakarta, H. Dahlan Abdullah diangkat sebagai kepala pemerintahan daerah kotapraja, sedangkan jabatan kepala polisi diserahkan kepada Mas Sutandoko.Jepang juga mengeluarkan berbagai aturan. Dalam undang-undang No. 4
ditetapkan hanya bendera Jepang, Hinomaru, yang boleh dipasang pada hari-hari besar dan hanya lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, yang boleh diperdengarkan. Selanjutnya mulai tanggal 1 April 1942 ditetapkan harus menggunakan waktu (jam) Jepang. Mulai tanggal 29 April 1942 ditetapkan bahwa kalender yang dipakai adalah kalender Jepang yang bernama Sumera. Tahun 1942, kalender Masehi sama dengan tahun 2602 Sumera.
Demikian juga setiap tahun rakyat Indonesia diwajibkan untuk merayakan hari raya Tencosetsu¸ yaitu hari lahirnya Kaisar Hirohito. Pada bulan Agustus 1942 pemerintahan militer Jepang meningkatkan penataan pemerintahan. Hal itu tampak dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 27 tentang aturan pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 28 tentang aturan pemerintahan syu dan tokubutsu syi. Di depan Sidang Istimewa ke-82 Parlemen di Tokyo, Perdana Menteri Tojo pada tanggal 16 Juni 1943 memutuskan bahwa pemerintah pendudukan Jepang memberikan kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Agustus 1943 keluar pengumuman Saiko Syikikan tentang garis-garis besar rencana mengikut sertakan orang-orang Indonesia dalam pemerintahan negara. Pengikut sertaan bangsa Indonesia tersebut dimulai dengan pengangkatan Prof.Dr. Hoesein Djajadiningrat sebagai Kepala Departemen Urusan Agama pada tanggal 1 Oktober 1943. Pada tanggal 10 November 1943, Mas Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A Surio masing-masing diangkat sebagai residen (syucokan) di Jakarta dan Bojonegoro. Selanjutnya, pengangkatan 7 penasehat bangsa Indonesia dilakukan pada pertengahan bulan September 1943. Mereka disebut sanyo dan dipilih untuk enam macam departemen (bu), yaitu sebagai berikut:
  • Ir. Soekarno untuk Somubu (Departemen Urusan Umum)
  • Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid untuk Naimubu-bunkyoku (Biro Pendidikan danKebudayaan Departemen Dalam Negeri)
  • Prof. Dr. Mr. Supomo untuk shihobu (Departemen Kehakiman)
  • Mochtar bin Prabu Mangkunegoro untuk Kotsubu (Departemen Lalu Lintas)
  • Mr. Muh. Yamin untuk Sendenbu (Departemen Propaganda)

Pada saat kedatangan bala tentara Dai Nippo di Indonesia yang di ikuti oleh perubahan-perubahan yang mendasar dalam sistem hukum. Hal itu dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan di bawah pendudukan Jepang, meskipun dalam hal ini Jepang terlihat untuk berupaya mempertahankan sistem yang sudah ada. Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Balatentara Dai Nippon mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 yang berisi antara lain hal-hal sebagai berikut :
  • Pasal 1: Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer sementara waktu di daerah-daerah yang telah ditempati agar supaya mendatangkan keamanan yang sentausa dengan segera,
  • Pasal 2: Pembesaran Balatentara memegang kekuasaan militer yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu tetap di tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
  • Pasal 3: Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan pemerintahan militer,
  • Pasal 4: Bahwa Balatentara Jepang akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai yang setia pada Jepang.
Undang-undang tersebut secara tegas menggariskan bahwa diberlakukannya pemerintahan militer untuk sementara waktu dan jabatan Gubernur Jenderal dihapuskan dengan diganti oleh tentara Jepang di Jawa. Pemerintahan sipil dengan undang-undang tersebut tetap dipertahankan untuk mencegah kekacauan. Perbedaannya ialah bahwa pimpinan dipegang oleh tentara Jepang, baik di pusat maupun di daerah.
Kemudian, pada tanggal 5 Agustus 1942 pemerintahan Jepang mengeluarkan Undang-undang nomor 27 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 28 tentang Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetu-Syi pada tanggal 7 Agustus 1942. Dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut maka berakhirlah pemerintahan yang bersifat sementara dan berlakulah pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam struktur pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang tersebut terdiri atas Syu, Syi, Ken, Gun, Son, dan Ku (Kan Po, Nomor 2, September 1942).
Dalam hierarki struktural sistem pemerintahan daerah di Jawa masa Jepang adalah sebagai berikut:
  • Lembaga Syu (Karesidenan) di Pimpin Syucho, Lembaga Si (Kotamadya) di Pimpin Sicho, Ken (Kabupaten) di pimpin Kencho, Lembaga Gun (Kawedanan) di Pimpin Guncho, Son (Kecamatan) di Pimpin Soncho, Ku (Desa/Kelurahan) di Pimpin Kuncho.
  • Karesidenan (Syu) dalam sistem ini merupakan lembaga yang mandiri dan otonom dalam hal pengelolaan ekonomi. Terdapat hal yang berubah dalam fungsi dan kekuasaannya, yaitu meskipun luas daerah Syu sama dengan karesidenan dahulu namun fungsi dan kekuasaannya berbeda.
  • Residentie dulu merupakan daerah pembantu gubernur (resident), sedangkan Syu merupakan pemerintahan daerah yang tertinggi dan berotonomi, di bawah seorang Syukan yang kedudukannya sama dengan Gubernur Jenderal. Struktur yang diciptakan itu dimaksudkan untuk memaksimalkan eksploitasi dan mobilisasi sumber daya hingga di tingkat pedesaan.
Dengan demikian maka Jepang terjadi peningkatan peran lembaga-lembaga politik tersebut. Terdapat ambivalensi yang kuat dalam undang-undang pemerintahan daerah tersebut. Aturan yang secara prinsip harus mengatur kehidupan politik namun justru secara prinsip harus mengatur kehidupan ekonomi.
Selain itu dalam pelaksanaan pemerintahan, pangreh praja dengan aturan itu menyandang kekuasaan langsung atas rakyat, tetapi mereka lebih terikat erat dengan kontrol kuat pemerintah pusat. Campur tangan pemerintah Jepang terhadap korps pangreh praja bahkan merupakan bentuk-bentuk penetrasi politik dan depolitisasi terhadap lembaga-lembaga politik tradisional di pedesaan. Pelatihan-pelatihan dan indoktrinasi dilakukan oleh pemerintahan Jepang dalam kerangka membentuk konsep dan gaya pemerintahan Jepang. Sedangkan ''politik imbalan dan hukuman'' yang dilakukan pemerintah Jepang dalam kombinasi yang cerdik dalam bentuk pemecatan, pemindahan, pengangkatan, dan pemberian hukuman terhadap pangreh praja diarahkan untuk menyingkirkan orang-orang dalam pangreh Praja yang anti Jepang, bersikap kompromis terhadap Barat atau bergaya keningratan.
Dalam tatanan kehidupan politik tradisional di tingkat pedesaan, pemerintah Jepang dengan orientasi ekonominya telah melanggar batas-batas otonomi pemerintahan desa.Kepala desa bagi masyarakat merupakan simbol pengayom yang dipilih oleh masyarakat berdasarkan ketentuan dan kriteria tertentu secara demokratis. Tetapi pada masa pendudukan Jepang, proses pemilihan dan pengangkatan kepala desa dilakukan melalui serangkaian prosedur seleksi dan tes yang dibuat oleh pemerintah Jepang. Hal itu dimaksudkan untuk memilih kepala desa yang mengerti administrasi pemerintahan dan sekaligus untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak menyukai pemerintahan Jepang.
Dengan demikian pada masa itu kepala desa dilibatkan langsung dalam struktur pemerintahan administrasi Jepang dengan aturan-aturan yang dipaksakan. Untuk memperlancar proses kepentingan ekonomi di pedesaan dan sekaligus mengontrol tindakan-tindakan rakyat, pemerintah Jepang membentuk lembaga baru yang dinamakan tonarigumi (rukun tetangga). Sebagai dari akibat ketatnya kontrol pemerintah, maka kepala desa memiliki banyak tugas kewajiban. Kewajiban-kewajiban itu adalah: pemungutan pajak, peningkatan standar hidup rakyat, memimpin keibodan dan seinendan, memilih dan megangkat hak suara Sangikai (dewan penasehat setempat), pengelolaan koperasi, akutansi masjid, memberi penerangan dalam hal kesehatan, menyampaikan informasi ke atas dan ke bawah.
Di samping tugas tradisional tersebut, kepala desa memiliki kewajiban-kewajiban menjalankan: tuntutan dalam meningkatkan produksi padi (pertanian), pengawasan penanaman tanaman-tanaman baru, pengumpulan padi, perekrutan romusa, mengorganisasikan korps tenaga sukarela, mengawasi nogyo kumiai, memimpin keibodan sebagai komandan unit desa, memimpin cabang Hokokai desa dan sebagainya.
Perubahan-perubahan struktural telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam kehidupan politik, pemerintahan dan sikap masyarakat terhadap lembaga politik. Dalam posisi sistem pemerintahan pendudukan, rakyat hanyalah sebagai obyek politik dan segala kepentingan politik yang dibebankan kepadanya. Dalam kata lain, pada saat itu masyarakat pedesaan merupakan obyek eksploitasi dan penetrasi demi kepentingan pemerintah pendudukan Jepang.

Ø  Gerakan Jepang di Indonesia dan pengaruh Jepang terhadap rakyat Indonesia, yaitu :
Gerakan invansi Jepang di Indonesia dimulai dengan menguasai daerah-daerah strategis. Pada 11 Januari 1942, Jepang mendarat untuk pertama kali di Tarakan, Kalimantan Timur. Pendaratan selanjutnya di Balikpapan, Samarinda, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Makasar, Minahasa, Bali, dan Ambon. Dari daerah-daerah ini Jepang mengepung pusat kekuatan Belanda di Jawa.
Gerakan pasukan Jepang ini diikuti dengan upaya propaganda yang kemudian dikenal dengan sebutan 3A (Nipon Cahaya Asia, Nippon pelindung Asia, dan Nipon Pemimpin Asia). Dengan propaganda seperti ini, Jepang berhasil menarik simpati masyarakat Indonesia untuk membantu Jepang mengusir Belanda yang telah berkuasa di Indonesia (Hindia Belanda). Dalam waktu yang singkat, Jepang berhasil menguasai daerah-daerah strategis diluar Jawa dan kemudian mendarat di Teluk Banten, Eretan Wetan, dan Kragan untuk merebut Batavia (Jakarta) dan Bandung.
Akhirnya Belanda tidak kuasa untuk mempertahankan Indonesia dan menyerah pada tanggal 7 Maret 1942. Penyerahan kekuasaan dilakukan oleh Gubernur Jendral Ter Poorten kepada Letnan Jendral Hitoshi Imamura di Kalijati. Penyerahan tanpa syarat ini mulai berlaku secara efektif pada tanggal 9 Maret 1942. Sejak saat itu, Indonesia secara resmi dijajah oleh Jepang.
Pengaruh- pengaruh Jepang terhadap rakyat Indonesia meliputi berbagai bidang, yaitu bidang politik, bidang ekonomi, bidang pendidikan, bidang kebudayaan, bidang sosial, bidang birokrasi dan bidang militer.
  • Bidang Politik
Sejak masuknya Jepang di Indonesia, organisasi-organisasi politik tidak dapat berkembang lagi. Bahkan pemerintah Jepang menghapuskan segala bentuk kegiatan organisasi-organisasi, baik yang bersifat politik maupun yang bersifat social, ekonomi, dan agama. Organisasi itu dihapuskan dan diganti dengan organisasi buatan Jepang, sehingga kehidupan politik pada masa itu diatur oleh pemerintah Jepang. Walaupun masih terdapat beberapa organisasi politik yang terus berjuang menentang pendudukan Jepang di Indonesia.
  • Bidang Ekonomi
Pendudukan Jepang atas wilayah Indonesia sebagai Negara imperialis, tidak jauh beda dengan Negara-negara imperialis lainnya. Kedatangan bangsa Jepang ke Indonesia berlatar belakang masalah ekonomi yaitu mencari daerah-daerah sebagai penghasil bahan-bahan mentah dan bahan baku industry serta mencari tempat pemasaran untuk hasil-hasil industrinya. Sehingga aktivitas perekonomian bangsa Indonesia pada zaman Jepang sepenuhnya dipegang oleh pemerintah Jepang.
  • Bidang Pendidikan
            Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia kehidupan pendidikan berkembang pesat dibandingkan pada masa Hindia- Belanda. Pemerintah pendudukan Jepang memberikan kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk mengikuti pendidikan pada sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah. Disamping itu, bahasa Indonesia digunakan Sebagai bahasa perantara pada sekolah-sekolah serta penggunaan nama-nama diindonesiakan. Namun tujuan Jepang mengembangkan pendidikan yang luas pada bangsa Indonesia adalah untuk menarik simpati dan mendapatkan bantuan dari rakyat indonesia dalam menghadapi lawan-lawannya pada perang pasifik.
  • Bidang Kebudayaan
Di bidang kebudayaan pemerintah Jepang mendirikan sebuah pusat kebudayaan pada 1 april 1943. Pusat kebudayaan itu bernama keimin bunkei shidoso. Pusat kebudayaan itu dipakai sebagai sarana untuk menanamkan dan menyebarkan kesenian serta kebudayaan Jepang bagi bangsa Indonesia. Sekolah itu juga dipakai untuk mengarahkan agar karya-karya seniman seperti roamn, sajak, lagu, lukisan, sandiwara, dan film tidak menyimpang dari tujuan Jepang dan dijadikan alat propaganda pemerintah Jepang.


  • Bidang Sosial
Selama pemerintahan Jepang seluruh kegiatan rakyat dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan perang Jepang. Kehidupan social-ekonomi rakyat Indonesia sangat memperihatinkan. Seluruh kekayaan rakyat dikuras habis. Selain iu berbagai pungutan dan pajak juga masuk. Untuk membangun sarana dan prasarana perang seperti jalan-jalan, kubu-kubu pertahanan, dan lapangan udara, Jepang mengambil banyak tenaga kasar dari berbagai daerah di Indonesia. Tenaga-tenaga kerja tersebut disebut Romusha. Pengerahan tenaga romusha ini membawa akibat lebih jauh pada struktur social masyarakat Indonesia. Banyak tenaga-tenaga muda menghilang dari desanya karena takut akan diambil sebagai romusha. Sebagai akibatnya yang tiggal di desa hanyalah kaum wanita, anak-anak, dan laki-laki cacat.
  • Bidang Birokrasi
Kekuasaan Jepang atas wilayah Indonesia dipegang oleh kalangan militer yaitu dari angkatan darat (rikugun) dan angkatan laut (kaigun). Dengan demikian system pemerintahan atas wilayah diatur atas aturan militer. Dengan hilangnya orang belanda dipeerintahan maka orang-orang Indonesia mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan yang lebih penting yann sebelumnya hanyabisa dipegang oleh orang belanda. Termasuk jabatan gubernur dan walikota dibeberapa daerah, tetapi pelaksanaannya masih dibawah pengawasan militer Jepang. Pengalaman penerapan birokrasi di jawa dan Sumatra lebih banyak daripada di tempat-tempat lain. Kemudian penerapan birokrasi di daerah pengawasan angkatan laut Jepang agak buruk.
  • Bidang Militer
Kekuasaan Jepang atas wilayah Indonesia memiliki arti penting, khususnya dalam bidang militer. Para pemuda bangsa Indonesia diberikan pendidikan militer melalui organisasi PETA. Pemuda-pemuda yang tergabung dalam peta inilah yang nantinya menjadi inti kekuatan dan penggerak perjuangan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaannya.
Ø  Proses Demokrasi Liberal di Indonesia apabila dilihat dari Konstitusi RIS ke UUDS, yaitu :
Di Indonesia demokrasi liberal berlangsung sejak 3 november 1945, yaitu sejak sistem multi-partai berlaku melalui maklumat pemerintah. Sistem multi-partai ini lebih menampakkan sifat instabilitas politik setelah berlaku sistem parlementer dalam naungan UUD 1945 periode pertama.
Pada periode ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal dan diberlakukan UUDS 1950. Pada periode itu berlaku Konstitusi RIS. Indonesia dibagi dalam beberapa negara bagian. Sistem pemerintahan yang dianut ialah Demokrasi Parlementer (Sistem Demokrasi Liberal). Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Presiden hanya sebagai lambang. Karena pada umumnya rakyat menolak RIS, sehingga tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950.
Dalam periode demokrasi – liberal ini ada beberapa hal yang secara pasti dapat dikatakan telah melekat dan mewarnai prosesnya, yaitu : penyaluran tuntutan, pemeliharaan dan kontinuitas nilai, kapabilitas, integritas, integrasi horizontal, gaya Politik, kepemimpinan , perimbangan partisipasi politik dengan kelembagaan, pola pembangunan aparatur negara , dan tingkat stabilitas.
Pelaksanaan demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni Undang Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan maklumat tanggal 3 November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal atau parlementer yang meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di Indonesia. Tahun 1950 sampai 1959 merupakan masa berkiprahnya parta-partai politik. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI & Masyumi) silih berganti memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Ciri-ciri demokrasi liberal adalah sebagai berikut : Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat, Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah, Presiden bisa dan berhak berhak membubarkan DPR, dan Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
Kabinet- kabinet dalam Demokrasi Liberal, yaitu antara lain:
  • Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi. Dipimpin Oleh : Muhammad Natsir.
Program :
  1. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
  2. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
  3. Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
  4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
  5. Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Hasil :
Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Kendala/ Masalah yang dihadapi      :
  1. Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
  2. Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
Berakhirnya kekuasaan kabinet         :
Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
  • Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI. Dipimpin Oleh: Sukiman Wiryosanjoyo.

Program :
  1. Menjamin keamanan dan ketentraman
  2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
  3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
  4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Hasil :
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
  1. Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.
  2. Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
  3. Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
  4. Masalah Irian barat belum juga teratasi.
  5. Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.


Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.
  • Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam biangnya. Dipimpin Oleh : Mr. Wilopo
Program :
  1. Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
  2. Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
  1. Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
  2. Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
  3. Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
  4. Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya.
  5. Timbulnya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
  • Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU. Dipimpin Oleh : Mr. Ali Sastroamijoyo.
Program :
  1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
  2. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
  3. Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
  4. Penyelesaian Pertikaian politik
Hasil :
  1. Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
  2. Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
  1. Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
  2. Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD.
  3. Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
  4. Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
  5. Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
Berakhirnya kekuasaan cabinet :
NU menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
  • Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Program :
  1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
  2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
  3. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
  4. Perjuangan pengembalian Irian Barat
  5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil :
  1. Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
  2. Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
  3. Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
  4. Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
  • Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU. Dipimpin Oleh : Ali Sastroamijoyo.
Program :
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut.
  1. Perjuangan pengembalian Irian Barat
  2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
  3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
  4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
  5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Hasil :
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
  1. Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
  2. Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatismedengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
  3. Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
  4. Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
  5. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
  • Kabinet Djuanda( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik.
Program :
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu :
  1. Membentuk Dewan Nasional
  2. Normalisasi keadaan Republik Indonesia
  3. Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
  4. Perjuangan pengembalian Irian Jaya
  5. Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Hasil :
  1. Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial.
  2. Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
  3. Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah.
  4. Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
  1. Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
  2. Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
  3. Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.

Ø  Berakhirnya Demokrasi Liberal di Indonesia.
Pelaksanaan demokrasi kurun waktu tahun 1949 – 1950, masa konstitusi RIS. Pada masa ini telah terjadi perubahan konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 menjadi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serkat. Sejak berlakunya konstitusi RIS yang berlaku adalah demokrasi liberal dengan sistim parlementer. Pelaksanaan demokrasi pada masa ini tidak berlangsung lama karena bentuk negara serikat yang di anut dalam konstitusi RIS tidak cocok dengan bangsa Indonesia oleh karenanya pada tanggal 17 Agustus 1950 kita kembali lagi ke bentuk negara kesatuan RI.
Pelaksanaan demokrasi kurun waktu tahun 1950 -1959, masa UUDS. Pada masa berlakuny aUUDS 1950 pemerintah berdasarkan sistem parlementer dengan demokrasinya liberal. Pada masa ini bangsa Indonesia untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota konstituante dan anggota DPR. Lembaga konstituante yang di beri tugas untuk membentuk UUD ternyata tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, hal ini disebabkan oleh adanya konflik antar partai dalam tubuh konstituante. Akibat macetnya tugas penyusunan UUD, keadaan ketatanegaraan menjadi sangat rawan, dan sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia, maka Presiden mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang isinya, antara lain : Pembubaran konstituante, Berlakunya UUD 1945 tidak berlakunya UUD Sementara Tahun 1950, dan Pembentukan MPRS yang terdiri atas anggota DPR di tambah utusan daerah dan golongan serta pembentukan DPAS.
Faktor Yang Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal: Pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.
Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit. Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.
Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen. Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
Dengan demikian Demokrasi liberal ketika berlakunya lagi UUD 1945 periode pertama, Demokrasi Liberal secara formal berakhir pada Dekrit Presiden 5 juli 1959, sedangkan secara material berakhir pada saat gagasan Demokrasi Terpimpin dilaksanakan melalui pidato Presiden di depan Konstituante tanggal 10 November 1956 atau pada saat konsepsi Presiden tanggal 21 Januari 1957 dengan dibentuknya Dewan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka
Wikipedia.  http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_liberal di akses 21 Mei 2014
Zalva94.http://zalva94.blogspot.com/2013/06/masa-pendudukan-jepang-di-nusantara.html diakses 21 Mei 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar