uts
(UJIAN TENGAH SEMESTER)
OLEH :
Nama : Muhammad Deri
Juniko (2011.131.044)
Semester
/ Kelas : 6 /
A
Mata
Kuliah : Sejarah
Nasional Indonesia VI
Dosen Pembimbing : Nur
Syafarudin, S.Pd.,
M.Pd
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2013/2014
JAWABAN UTS
Ø Keadaan rakyat Indonesia masa
pendudukan Jepang apabila dilihat dari susunan pemerintahannya, yaitu :
Susunan
pemerintahan Jepang adalah:
- Gunshiereikan (panglima tentara Jepang) dijabat oleh hitoshi Imamura,
- Gunseikan (kepala pemerintahan militer) dijabat oleh seizaburo okasaki,
- Gunseinbu (koordinator pemerintahan militer setempat) dijabat oleh semacam gubernur.
Pada
setiap gunseibu ditempatkan beberapa komandan militer. Mereka mendapat tugas
untuk memulihkan ketertiban dan keamanan, menanam kekuasaan, dan membentuk
pemerintahan setempat. Jepang kekurangan tenaga pemerintahan yang sebenarnya
telah dikirimkan, tetapi kapalnya tenggelam karena diserang oleh Sekutu dengan
menggunakan torpedo. Oleh karena itu, dengan terpaksa diangkat pegawai-pegawai
bangsa Indonesia. Hal itu tentunya
menguntungkan pihak Indonesia karena memperoleh pengalaman dalam bidang
pemerintahan. Di Jawa Barat, pembesar militer Jepang menyelenggarakan pertemuan
dengan para anggota Dewan Pemerintahan Daerah dengan tujuan untuk menciptakan
suasana kerjasama yang baik. Gubernur Jawa Barat, Kolonel Matsui, didampingi
oleh R. Pandu Suradiningrat sebagai wakil gubernur, sedangkan Atik Suardi
diangkat sebagai pembantu wakil gubernur. Pada tanggal 19 April 1942, diangkat
residen-residen berikut ini :
- R. Adipati Aria Hilman Djajadiningrat di Banten (Serang)
- R.A.A Surjadjajanegara di Bogor
- R.A.A Wiranatakusuma di Priangan (Bandung)
- Pangeran Ario Suriadi di Cirebon
- R.A.A Surjo di Pekalongan
- R.A.A Sudjiman Martadiredja Gandasubrata di Banyumas.
Di
kota Batavia, sebelum namanya diubah menjadi Jakarta, H. Dahlan Abdullah
diangkat sebagai kepala pemerintahan daerah kotapraja, sedangkan jabatan kepala
polisi diserahkan kepada Mas Sutandoko.Jepang juga mengeluarkan berbagai
aturan. Dalam undang-undang No. 4
ditetapkan
hanya bendera Jepang, Hinomaru, yang boleh dipasang pada hari-hari besar dan
hanya lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, yang boleh diperdengarkan. Selanjutnya
mulai tanggal 1 April 1942 ditetapkan harus menggunakan waktu (jam) Jepang.
Mulai tanggal 29 April 1942 ditetapkan bahwa kalender yang dipakai adalah
kalender Jepang yang bernama Sumera. Tahun 1942, kalender Masehi sama dengan
tahun 2602 Sumera.
Demikian
juga setiap tahun rakyat Indonesia diwajibkan untuk merayakan hari raya
Tencosetsu¸ yaitu hari lahirnya Kaisar Hirohito. Pada bulan Agustus 1942
pemerintahan militer Jepang meningkatkan penataan pemerintahan. Hal itu tampak
dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 27 tentang aturan pemerintahan daerah
dan Undang-Undang No. 28 tentang aturan pemerintahan syu dan tokubutsu syi. Di depan
Sidang Istimewa ke-82 Parlemen di Tokyo, Perdana Menteri Tojo pada tanggal 16
Juni 1943 memutuskan bahwa pemerintah pendudukan Jepang memberikan kesempatan
kepada bangsa Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan.
Selanjutnya,
pada tanggal 1 Agustus 1943 keluar pengumuman Saiko Syikikan tentang
garis-garis besar rencana mengikut sertakan orang-orang Indonesia dalam
pemerintahan negara. Pengikut sertaan bangsa Indonesia tersebut dimulai dengan
pengangkatan Prof.Dr. Hoesein Djajadiningrat sebagai Kepala Departemen Urusan
Agama pada tanggal 1 Oktober 1943. Pada tanggal 10 November 1943, Mas Sutardjo
Kartohadikusumo dan R.M.T.A Surio masing-masing diangkat sebagai residen
(syucokan) di Jakarta dan Bojonegoro. Selanjutnya, pengangkatan 7 penasehat
bangsa Indonesia dilakukan pada pertengahan bulan September 1943. Mereka
disebut sanyo dan dipilih untuk enam macam departemen (bu), yaitu sebagai
berikut:
- Ir. Soekarno untuk Somubu (Departemen Urusan Umum)
- Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid untuk Naimubu-bunkyoku (Biro Pendidikan danKebudayaan Departemen Dalam Negeri)
- Prof. Dr. Mr. Supomo untuk shihobu (Departemen Kehakiman)
- Mochtar bin Prabu Mangkunegoro untuk Kotsubu (Departemen Lalu Lintas)
- Mr. Muh. Yamin untuk Sendenbu (Departemen Propaganda)
Pada
saat kedatangan bala tentara Dai Nippo di Indonesia yang di ikuti oleh
perubahan-perubahan yang mendasar dalam sistem hukum. Hal itu dimaksudkan untuk
menjalankan pemerintahan di bawah pendudukan Jepang, meskipun dalam hal ini
Jepang terlihat untuk berupaya mempertahankan sistem yang sudah ada. Pada
tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Balatentara Dai Nippon mengeluarkan
Undang-undang Nomor 1 yang berisi antara lain hal-hal sebagai berikut :
- Pasal 1: Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer sementara waktu di daerah-daerah yang telah ditempati agar supaya mendatangkan keamanan yang sentausa dengan segera,
- Pasal 2: Pembesaran Balatentara memegang kekuasaan militer yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu tetap di tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
- Pasal 3: Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan pemerintahan militer,
- Pasal 4: Bahwa Balatentara Jepang akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai yang setia pada Jepang.
Undang-undang
tersebut secara tegas menggariskan bahwa diberlakukannya pemerintahan militer
untuk sementara waktu dan jabatan Gubernur Jenderal dihapuskan dengan diganti
oleh tentara Jepang di Jawa. Pemerintahan sipil dengan undang-undang tersebut
tetap dipertahankan untuk mencegah kekacauan. Perbedaannya ialah bahwa pimpinan
dipegang oleh tentara Jepang, baik di pusat maupun di daerah.
Kemudian,
pada tanggal 5 Agustus 1942 pemerintahan Jepang mengeluarkan Undang-undang
nomor 27 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 28
tentang Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetu-Syi pada tanggal 7 Agustus 1942.
Dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut maka berakhirlah pemerintahan yang
bersifat sementara dan berlakulah pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam
struktur pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang tersebut terdiri atas
Syu, Syi, Ken, Gun, Son, dan Ku (Kan Po, Nomor 2, September 1942).
Dalam
hierarki struktural sistem pemerintahan daerah di Jawa masa Jepang adalah
sebagai berikut:
- Lembaga Syu (Karesidenan) di Pimpin Syucho, Lembaga Si (Kotamadya) di Pimpin Sicho, Ken (Kabupaten) di pimpin Kencho, Lembaga Gun (Kawedanan) di Pimpin Guncho, Son (Kecamatan) di Pimpin Soncho, Ku (Desa/Kelurahan) di Pimpin Kuncho.
- Karesidenan (Syu) dalam sistem ini merupakan lembaga yang mandiri dan otonom dalam hal pengelolaan ekonomi. Terdapat hal yang berubah dalam fungsi dan kekuasaannya, yaitu meskipun luas daerah Syu sama dengan karesidenan dahulu namun fungsi dan kekuasaannya berbeda.
- Residentie dulu merupakan daerah pembantu gubernur (resident), sedangkan Syu merupakan pemerintahan daerah yang tertinggi dan berotonomi, di bawah seorang Syukan yang kedudukannya sama dengan Gubernur Jenderal. Struktur yang diciptakan itu dimaksudkan untuk memaksimalkan eksploitasi dan mobilisasi sumber daya hingga di tingkat pedesaan.
Dengan
demikian maka Jepang terjadi peningkatan peran lembaga-lembaga politik
tersebut. Terdapat ambivalensi yang kuat dalam undang-undang pemerintahan
daerah tersebut. Aturan yang secara prinsip harus mengatur kehidupan politik
namun justru secara prinsip harus mengatur kehidupan ekonomi.
Selain
itu dalam pelaksanaan pemerintahan, pangreh praja dengan aturan itu menyandang
kekuasaan langsung atas rakyat, tetapi mereka lebih terikat erat dengan kontrol
kuat pemerintah pusat. Campur tangan pemerintah Jepang terhadap korps pangreh
praja bahkan merupakan bentuk-bentuk penetrasi politik dan depolitisasi
terhadap lembaga-lembaga politik tradisional di pedesaan. Pelatihan-pelatihan
dan indoktrinasi dilakukan oleh pemerintahan Jepang dalam kerangka membentuk
konsep dan gaya pemerintahan Jepang. Sedangkan ''politik imbalan dan hukuman''
yang dilakukan pemerintah Jepang dalam kombinasi yang cerdik dalam bentuk
pemecatan, pemindahan, pengangkatan, dan pemberian hukuman terhadap pangreh
praja diarahkan untuk menyingkirkan orang-orang dalam pangreh Praja yang anti
Jepang, bersikap kompromis terhadap Barat atau bergaya keningratan.
Dalam
tatanan kehidupan politik tradisional di tingkat pedesaan, pemerintah Jepang
dengan orientasi ekonominya telah melanggar batas-batas otonomi pemerintahan
desa.Kepala desa bagi masyarakat merupakan simbol pengayom yang dipilih oleh
masyarakat berdasarkan ketentuan dan kriteria tertentu secara demokratis. Tetapi
pada masa pendudukan Jepang, proses pemilihan dan pengangkatan kepala desa
dilakukan melalui serangkaian prosedur seleksi dan tes yang dibuat oleh
pemerintah Jepang. Hal itu dimaksudkan untuk memilih kepala desa yang mengerti
administrasi pemerintahan dan sekaligus untuk menyingkirkan orang-orang yang
tidak menyukai pemerintahan Jepang.
Dengan
demikian pada masa itu kepala desa dilibatkan langsung dalam struktur
pemerintahan administrasi Jepang dengan aturan-aturan yang dipaksakan. Untuk
memperlancar proses kepentingan ekonomi di pedesaan dan sekaligus mengontrol
tindakan-tindakan rakyat, pemerintah Jepang membentuk lembaga baru yang
dinamakan tonarigumi (rukun tetangga). Sebagai dari akibat ketatnya kontrol
pemerintah, maka kepala desa memiliki banyak tugas kewajiban. Kewajiban-kewajiban
itu adalah: pemungutan pajak, peningkatan standar hidup rakyat, memimpin
keibodan dan seinendan, memilih dan megangkat hak suara Sangikai (dewan
penasehat setempat), pengelolaan koperasi, akutansi masjid, memberi penerangan
dalam hal kesehatan, menyampaikan informasi ke atas dan ke bawah.
Di
samping tugas tradisional tersebut, kepala desa memiliki kewajiban-kewajiban
menjalankan: tuntutan dalam meningkatkan produksi padi (pertanian), pengawasan
penanaman tanaman-tanaman baru, pengumpulan padi, perekrutan romusa, mengorganisasikan
korps tenaga sukarela, mengawasi nogyo kumiai, memimpin keibodan sebagai
komandan unit desa, memimpin cabang Hokokai desa dan sebagainya.
Perubahan-perubahan
struktural telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam kehidupan politik,
pemerintahan dan sikap masyarakat terhadap lembaga politik. Dalam posisi sistem
pemerintahan pendudukan, rakyat hanyalah sebagai obyek politik dan segala
kepentingan politik yang dibebankan kepadanya. Dalam kata lain, pada saat itu
masyarakat pedesaan merupakan obyek eksploitasi dan penetrasi demi kepentingan
pemerintah pendudukan Jepang.
Ø Gerakan Jepang di Indonesia dan
pengaruh Jepang terhadap rakyat Indonesia, yaitu :
Gerakan
invansi Jepang di Indonesia dimulai dengan menguasai daerah-daerah strategis.
Pada 11 Januari 1942, Jepang mendarat untuk pertama kali di Tarakan, Kalimantan
Timur. Pendaratan selanjutnya di Balikpapan, Samarinda, Palembang, Pontianak,
Banjarmasin, Makasar, Minahasa, Bali, dan Ambon. Dari daerah-daerah ini Jepang
mengepung pusat kekuatan Belanda di Jawa.
Gerakan
pasukan Jepang ini diikuti dengan upaya propaganda yang kemudian dikenal dengan
sebutan 3A (Nipon Cahaya Asia, Nippon pelindung Asia, dan Nipon Pemimpin Asia).
Dengan propaganda seperti ini, Jepang berhasil menarik simpati masyarakat
Indonesia untuk membantu Jepang mengusir Belanda yang telah berkuasa di
Indonesia (Hindia Belanda). Dalam waktu yang singkat, Jepang berhasil menguasai
daerah-daerah strategis diluar Jawa dan kemudian mendarat di Teluk Banten,
Eretan Wetan, dan Kragan untuk merebut Batavia (Jakarta) dan Bandung.
Akhirnya
Belanda tidak kuasa untuk mempertahankan Indonesia dan menyerah pada tanggal 7
Maret 1942. Penyerahan kekuasaan dilakukan oleh Gubernur Jendral Ter Poorten
kepada Letnan Jendral Hitoshi Imamura di Kalijati. Penyerahan tanpa syarat ini
mulai berlaku secara efektif pada tanggal 9 Maret 1942. Sejak saat itu,
Indonesia secara resmi dijajah oleh Jepang.
Pengaruh-
pengaruh Jepang terhadap rakyat Indonesia meliputi berbagai bidang, yaitu
bidang politik, bidang ekonomi, bidang pendidikan, bidang kebudayaan, bidang
sosial, bidang birokrasi dan bidang militer.
- Bidang Politik
Sejak
masuknya Jepang di Indonesia, organisasi-organisasi politik tidak dapat
berkembang lagi. Bahkan pemerintah Jepang menghapuskan segala bentuk kegiatan
organisasi-organisasi, baik yang bersifat politik maupun yang bersifat social,
ekonomi, dan agama. Organisasi itu dihapuskan dan diganti dengan organisasi
buatan Jepang, sehingga kehidupan politik pada masa itu diatur oleh pemerintah
Jepang. Walaupun masih terdapat beberapa organisasi politik yang terus berjuang
menentang pendudukan Jepang di Indonesia.
- Bidang Ekonomi
Pendudukan
Jepang atas wilayah Indonesia sebagai Negara imperialis, tidak jauh beda dengan
Negara-negara imperialis lainnya. Kedatangan bangsa Jepang ke Indonesia
berlatar belakang masalah ekonomi yaitu mencari daerah-daerah sebagai penghasil
bahan-bahan mentah dan bahan baku industry serta mencari tempat pemasaran untuk
hasil-hasil industrinya. Sehingga aktivitas perekonomian bangsa Indonesia pada
zaman Jepang sepenuhnya dipegang oleh pemerintah Jepang.
- Bidang Pendidikan
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia
kehidupan pendidikan berkembang pesat dibandingkan pada masa Hindia- Belanda.
Pemerintah pendudukan Jepang memberikan kesempatan kepada bangsa Indonesia
untuk mengikuti pendidikan pada sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah.
Disamping itu, bahasa Indonesia digunakan Sebagai bahasa perantara pada
sekolah-sekolah serta penggunaan nama-nama diindonesiakan. Namun tujuan Jepang
mengembangkan pendidikan yang luas pada bangsa Indonesia adalah untuk menarik simpati
dan mendapatkan bantuan dari rakyat indonesia dalam menghadapi lawan-lawannya
pada perang pasifik.
- Bidang Kebudayaan
Di
bidang kebudayaan pemerintah Jepang mendirikan sebuah pusat kebudayaan pada 1
april 1943. Pusat kebudayaan itu bernama keimin bunkei shidoso. Pusat
kebudayaan itu dipakai sebagai sarana untuk menanamkan dan menyebarkan kesenian
serta kebudayaan Jepang bagi bangsa Indonesia. Sekolah itu juga dipakai untuk
mengarahkan agar karya-karya seniman seperti roamn, sajak, lagu, lukisan,
sandiwara, dan film tidak menyimpang dari tujuan Jepang dan dijadikan alat
propaganda pemerintah Jepang.
- Bidang Sosial
Selama
pemerintahan Jepang seluruh kegiatan rakyat dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan
perang Jepang. Kehidupan social-ekonomi rakyat Indonesia sangat memperihatinkan.
Seluruh kekayaan rakyat dikuras habis. Selain iu berbagai pungutan dan pajak juga
masuk. Untuk membangun sarana dan prasarana perang seperti jalan-jalan,
kubu-kubu pertahanan, dan lapangan udara, Jepang mengambil banyak tenaga kasar
dari berbagai daerah di Indonesia. Tenaga-tenaga kerja tersebut disebut
Romusha. Pengerahan tenaga romusha ini membawa akibat lebih jauh pada struktur
social masyarakat Indonesia. Banyak tenaga-tenaga muda menghilang dari desanya
karena takut akan diambil sebagai romusha. Sebagai akibatnya yang tiggal di
desa hanyalah kaum wanita, anak-anak, dan laki-laki cacat.
- Bidang Birokrasi
Kekuasaan
Jepang atas wilayah Indonesia dipegang oleh kalangan militer yaitu dari
angkatan darat (rikugun) dan angkatan laut (kaigun). Dengan demikian system
pemerintahan atas wilayah diatur atas aturan militer. Dengan hilangnya orang
belanda dipeerintahan maka orang-orang Indonesia mendapat kesempatan untuk
menduduki jabatan yang lebih penting yann sebelumnya hanyabisa dipegang oleh
orang belanda. Termasuk jabatan gubernur dan walikota dibeberapa daerah, tetapi
pelaksanaannya masih dibawah pengawasan militer Jepang. Pengalaman penerapan
birokrasi di jawa dan Sumatra lebih banyak daripada di tempat-tempat lain.
Kemudian penerapan birokrasi di daerah pengawasan angkatan laut Jepang agak
buruk.
- Bidang Militer
Kekuasaan
Jepang atas wilayah Indonesia memiliki arti penting, khususnya dalam bidang
militer. Para pemuda bangsa Indonesia diberikan pendidikan militer melalui
organisasi PETA. Pemuda-pemuda yang tergabung dalam peta inilah yang nantinya
menjadi inti kekuatan dan penggerak perjuangan rakyat Indonesia mencapai
kemerdekaannya.
Ø Proses Demokrasi Liberal di
Indonesia apabila dilihat dari Konstitusi RIS ke UUDS, yaitu :
Di
Indonesia demokrasi liberal berlangsung sejak 3 november 1945, yaitu sejak
sistem multi-partai berlaku melalui maklumat pemerintah. Sistem multi-partai
ini lebih menampakkan sifat instabilitas politik setelah berlaku sistem
parlementer dalam naungan UUD 1945 periode pertama.
Pada
periode ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi
Liberal dan diberlakukan UUDS 1950. Pada periode itu berlaku Konstitusi RIS.
Indonesia dibagi dalam beberapa negara bagian. Sistem pemerintahan yang dianut
ialah Demokrasi Parlementer (Sistem Demokrasi Liberal). Pemerintahan dijalankan
oleh Perdana Menteri dan Presiden hanya sebagai lambang. Karena pada umumnya
rakyat menolak RIS, sehingga tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno
menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950.
Dalam
periode demokrasi – liberal ini ada beberapa hal yang secara pasti dapat
dikatakan telah melekat dan mewarnai prosesnya, yaitu : penyaluran tuntutan, pemeliharaan
dan kontinuitas nilai, kapabilitas, integritas, integrasi horizontal, gaya
Politik, kepemimpinan , perimbangan partisipasi politik dengan kelembagaan, pola
pembangunan aparatur negara , dan tingkat stabilitas.
Pelaksanaan
demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni Undang
Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak
dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan maklumat tanggal
3 November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal atau
parlementer yang meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di
Indonesia. Tahun 1950 sampai 1959 merupakan masa berkiprahnya parta-partai
politik. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI & Masyumi) silih berganti
memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering menimbulkan ketidakstabilan
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Ciri-ciri demokrasi liberal
adalah sebagai berikut : Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat,
Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah, Presiden bisa dan berhak
berhak membubarkan DPR, dan Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
Kabinet-
kabinet dalam Demokrasi Liberal, yaitu antara lain:
- Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Merupakan
kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi. Dipimpin Oleh : Muhammad
Natsir.
Program :
- Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
- Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
- Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
- Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
- Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Hasil :
Berlangsung
perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah
Irian Barat.
Kendala/ Masalah yang
dihadapi :
- Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
- Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Adanya
mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai
DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai
DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga
Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
- Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
Merupakan
kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI. Dipimpin Oleh: Sukiman Wiryosanjoyo.
Program :
- Menjamin keamanan dan ketentraman
- Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
- Mempercepat persiapan pemilihan umum.
- Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Hasil :
Tidak
terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi
perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk
menjamin keamanan dan ketentraman.
Kendala/ Masalah yang
dihadapi :
- Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.
- Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
- Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
- Masalah Irian barat belum juga teratasi.
- Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Muncul
pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik
dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa
Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.
- Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet
ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang
ahli dalam biangnya. Dipimpin Oleh : Mr. Wilopo
Program :
- Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
- Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Kendala/ Masalah yang
dihadapi :
- Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
- Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
- Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
- Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya.
- Timbulnya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Akibat
peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani
Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan
mandatnya pada presiden.
- Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet
ini merupakan koalisi antara PNI dan NU. Dipimpin Oleh : Mr. Ali Sastroamijoyo.
Program :
- Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
- Pembebasan Irian Barat secepatnya.
- Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
- Penyelesaian Pertikaian politik
Hasil :
- Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
- Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang
dihadapi :
- Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
- Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD.
- Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
- Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
- Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
Berakhirnya kekuasaan
cabinet :
NU
menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam
kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
- Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Program :
- Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
- Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
- Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
- Perjuangan pengembalian Irian Barat
- Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil :
- Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
- Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
- Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
- Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
Kendala/ Masalah yang
dihadapi :
Banyaknya
mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Dengan
berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu
tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun
jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen
yang baru pula.
- Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet
ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU. Dipimpin Oleh
: Ali Sastroamijoyo.
Program :
Program
kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka
panjang, sebagai berikut.
- Perjuangan pengembalian Irian Barat
- Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
- Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
- Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
- Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Hasil
:
Mendapat
dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode
planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kendala/ Masalah yang
dihadapi :
- Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
- Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatismedengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
- Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
- Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
- Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Mundurnya
sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan
menyerahkan mandatnya pada presiden.
- Kabinet Djuanda( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet
ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang
ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun
Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan
antara partai politik.
Program :
Programnya
disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya,
programnya yaitu :
- Membentuk Dewan Nasional
- Normalisasi keadaan Republik Indonesia
- Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
- Perjuangan pengembalian Irian Jaya
- Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Hasil :
- Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial.
- Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
- Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah.
- Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/ Masalah yang
dihadapi :
- Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
- Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
- Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Berakhir
saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah
babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
Ø Berakhirnya Demokrasi Liberal di
Indonesia.
Pelaksanaan
demokrasi kurun waktu tahun 1949 – 1950, masa konstitusi RIS. Pada masa ini
telah terjadi perubahan konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 menjadi
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serkat. Sejak berlakunya konstitusi RIS
yang berlaku adalah demokrasi liberal dengan sistim parlementer. Pelaksanaan
demokrasi pada masa ini tidak berlangsung lama karena bentuk negara serikat
yang di anut dalam konstitusi RIS tidak cocok dengan bangsa Indonesia oleh
karenanya pada tanggal 17 Agustus 1950 kita kembali lagi ke bentuk negara
kesatuan RI.
Pelaksanaan
demokrasi kurun waktu tahun 1950 -1959, masa UUDS. Pada masa berlakuny aUUDS
1950 pemerintah berdasarkan sistem parlementer dengan demokrasinya liberal.
Pada masa ini bangsa Indonesia untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilu
untuk memilih anggota konstituante dan anggota DPR. Lembaga konstituante yang
di beri tugas untuk membentuk UUD ternyata tidak dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik, hal ini disebabkan oleh adanya konflik antar partai dalam tubuh
konstituante. Akibat macetnya tugas penyusunan UUD, keadaan ketatanegaraan
menjadi sangat rawan, dan sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa
Indonesia, maka Presiden mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang isinya, antara
lain : Pembubaran konstituante, Berlakunya UUD 1945 tidak berlakunya UUD
Sementara Tahun 1950, dan Pembentukan MPRS yang terdiri atas anggota DPR di
tambah utusan daerah dan golongan serta pembentukan DPAS.
Faktor
Yang Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi
Liberal: Pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS)
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut
sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk
parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen
(DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232
orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI
(13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4
kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan,
yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu
struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi
umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila
pemilihan umum dilaksanakan.
Selama
kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan
instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap
kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet
pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara
riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu
tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit. Kabinet
Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung
penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya
persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.
Semenjak
kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai
besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet
parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen. Penyebab kabinet
mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat
kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia
ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah.
Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di
parlemen.
Setelah
negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat
Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950
dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa
Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan
Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta
merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai
pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya
UUDS 1950.
Dengan
demikian Demokrasi liberal ketika berlakunya lagi UUD 1945 periode pertama, Demokrasi
Liberal secara formal berakhir pada Dekrit Presiden 5 juli 1959, sedangkan
secara material berakhir pada saat gagasan Demokrasi Terpimpin dilaksanakan
melalui pidato Presiden di depan Konstituante tanggal 10 November 1956 atau
pada saat konsepsi Presiden tanggal 21 Januari 1957 dengan dibentuknya Dewan
Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Poesponegoro,
Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka
Wikipedia.
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_liberal di akses 21 Mei 2014
Zalva94.http://zalva94.blogspot.com/2013/06/masa-pendudukan-jepang-di-nusantara.html
diakses 21 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar