Jumat, 28 Maret 2014

Makalah Manajemen Pemimpin sebagai mediator



BAB II
PEMBAHASAN
FUNGSI- FUNGSI KEPEMIMPINAN YANG HAKIKI
2.1 Pemimpin Sebagai Mediator
Dalam kehidupan organisasi, selalu saja ada situasi konflik yang harus diatasi, baik dalam hubungan ke luar maupun dalam hubungan ke dalam organisasi. Pembahasan tentang fungsi pimpinan sebagai mediator difokuskan pada penyelesaian situasi konflik yang mungkin timbul dalam satu organisasi, tanpa mengurangi pentingnya situasi konflik yang mungkin timbul dalam hubungan keluar dihadapi dan diatasi.
Dalam satu organisasi dapat timbul situasi konflik dan factor- factor penyebabnya pun dapat beraneka ragam. Situasi konflik biasanya timbul karena tiga factor utama, yaitu:
  1. Persepsi subjektif tentang kemungkinan timbulnya tantangan dari pihak lain dalam organisasi,
  2. Kelangkaan sumber daya dan dana,
  3. Adanya asumsi bahwa dalam organisasi terdapat berbagai kepentingan yang diperkirakan tidak dapat atau sulit diserasikan.
Mengenai persepsi subjektif sebagai salah satu sumber situasi konflik dapat dikatakan bahwa para anggota organisasi yang tanggung jawab untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan tertentu akan cenderung memiliki persepsi bahwa kegiatan organisasional yang menjadi tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan merupakan kegiatan terpenting dalam rangka pencapaian tujuan organisasi sebagai keseluruhan. Persepsi demikian mungkin timbul karena kurang berhasilnya pimpinan organisasi melakukan pendekatan yang integralistik. Mungkin pula karena pendelegasian wewenang yang berlebihan sehingga menimbulkan otonomi operasional yang besar.
Atau mungkin karena alasan- alasan lain. Apapun factor- factor penyebabnya, persepsi yang tidak tepat tentang peranan seseorang atau suatu kelompok tertentu dalam suatu organisasi akan melahirkan tantangan dan bahkan penolakan oleh orang atau kelompok- kelompok kerja lain dalam organisasi.
            Tentangan dan penolakan demikian lebih mudah timbul apabila organisasi menghadapi situasi kelangkaan sumber dana dan daya yang serius. Bahkan situasi konflik biasanya timbul bukan hanya karena keterbatasan dana dan daya itu, akan tetapi juga karena terbatasnya jumlah jabatan pimpinan, perbedaan prestise, yang melekat pada sesuatu jabatan tertentu, pemberian wewenang yang tidak didasarkan pada pola yang konsiste, dan hal- hal lain yang sejenis dapat pula menimbulkan situasi konflik dalam suatu organisasi. Jika semakin banyak pihak berlomba memperoleh “porsi” dana dan daya yang lebih besar, dan jika semakin banyak orang yang berbuat menduduki jabatan pimpinan tertentu, dan jika predikat- predikat tertentu membuahkan prestise yang besar dan jika wewenang yang dimiliki memungkinkan seseorang “berkuasa” atas orang lain dengan segala implikasinya, semakin besar pula kemungkinan timbulnya situasi konflik dalam organisasi, kesemuanya itu merupakan tantangan yang harus ditaati oleh pimpinan. Untuk mengatasinya secara rasional, objektif, efektif, dan tuntas, dituntut kemampuannya berperan sebagai seorang mediator yang andal. Atas dasar itulah dikatakan bahwa mediasi merupakan salah satu fungsi kepemimpinan yang bersifat hakiki.
            Kemampuan menjalankan peranan selaku mediator yang andal terlihat pula dalam hal terdapat pandangan dalam diri orang- orang dalam organiasi bahwa berbagai kepentingan dalam organisasi sukar atau tidak mungkin dipertemukan. Pandangan demikian sungguh tidak dapat dibenarkan dan harus segera diatasi. Jika terdapat pandangan demikian, berarti bahwa:
  1. Paradigma yang holistik tidak terdapat dalam organisasi,
  2. Tidak terdapat  keyakinan dalam diri para anggota organisasi bahwa tujuan- tujuan mereka pribadi telah tercakup dalam tujuan- tujuan organisasional,
  3. Cara kerja dan cara berpikir dominan masih dilandasi oleh sikap dan perilaku,
  4. Pengkotak- kotakan dipandang sebagai hal yang normal dan oleh karenanya dapat dibenarkan,
  5. Terdapat ketidakjelasan pola pengambilan keputusan, pola pendelegasian wewenang, mekanisme kerja dan pembagian tugas.
Kiranya sangat mudah membayangkan bahwa tidak aka nada seorang pimpinan yang akan membiarkan situasi demikian berlangsung dalam organisasi yang dipimpinnya dan akan segera berusaha keras untuk menanggulanginya. Sikap demikian pasti diambilnya sebab apabila tidak, citranya sebagai seorang pimpinan akan rusak, kepercayaan terhadap kepemimpinannya akan merosot dan bahkan mungkin hilang dan organisasi yang dipimpinya pun tidak akan mencapai tujuannya.
2.2 Pandangan- Pandangan Tentang Konflik
Secara ilmiah terdapat tiga pandangan tentang konflik yaitu:
  1. Pandangan tradisional yang mengatakan bahwa semua bentuk konflik tidak baik,
  2. Pandangan keperilakuan yang mengatakan bahwa adanya konflik merupakan hal yang alamiah dan normal,
  3. Pandangan interaksionis yang mengatakan bahwa timbulnya konflik merupakan hal yang baik.
Mengenai pandangan pertama, pandangan ini dikenal dengan istilah pandangan tradisional karena ia merupakan pandangan yang paling lama mendominasi pemikiran tentang konflik dalam kehidupan organisasional. Inti pandangan ini terlihat pada pendapat yang mengatakan bahwa semua bentuk konflik dalam interaksi antara seorang dengan orang lain dan antara satu kelompok dengan kelompok lain merupakan hal yang tidak baik. Artinya, terdapatnya situasi konflik dalam organisasi dipandang secara negative karena dapat berakibat pada tindak kekerasan, pengrusakan, dan berbagai bentuk tindakan yang tidak rasional. Menurut pandangan ini, konflik bersifat disfungsional yang apabila dibiarkan berlangsung terus dapat merupakan ancaman terhadap kelangsungan hidup organisasi yang bersangkutan. Karena itulah, pandangan ini, segala usaha perlu dilakukan agar jangan sampai timbul situasi konflik.
Sering dikatakan bahwa ada 4 faktor penyebab timbulnya situasi konflik dalam organisasi, yaitu:
  1. Karena komunikasi yang berlangsung dalam organisasi bukanlah komunikasi yang efektif,
  2. Ketidakterbukaan terhadap satu sama lain,
  3. Ketidaksalingpercayaan antara satu orang dengan orang lain dalam organisasi,
  4. Karena kelompok pimpinan tidak responsive terhadap kebutuhan dan aspirasi para bawahannya.
Pandangan kedua, tentang konflik ialah yang didasarkan pada keperilakuan. Dalam teori administrasi dan manajemen, pandangan ini berkembang antara dekade empat puluhan hingga dekade tujuh puluhan. Pandangan ini berkisar pada pendapat yang mengatakan bahwa adanya konflik dalam kehidupan organisasional merupakan hal yang alamiah dan normal. Artinya, konflik selalu timbul dalam interaksi antara manusia sebagai individu dengan individu lain dan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Kerena timbulnya konflik merupakan hal yang tidak mungkin dicegah, sikap terbaik terhadapnya ialah menerimanya sebagai suatu kenyataan. Akan tetapi menerima konflik sebagai kenyataan kehidupan organisasional tidak berate bahwa konflik itu dibiarkan terus berlanjut tanpa tindakan apa- apa untuk mengatasinya. Sebaliknya yang harus terjadi, harus dicari dan ditemukan cara- cara untuk mengatasinya dan apabila mungkin menghapuskannya. Paling tidak diusahakan agar dampaknya jangan terlalu negative bagi organisasi yang bersangkutan.
Sangat menarik untuk mencatat bahwa menurut pandangan ini, apabila konflik dibiarkan berlanjut tanpa diatasi, ia dapat berkembang sehingga menjadi bersifat disfungsional bagi kehidupan organisasi yang dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup organisasi. Akan tetapi, demikian pandangan ini selanjutnya mengatakan, apabila konflik dapat diselesaikan dengan baik dan tepat, penyelesaian itu dapat berakibat pada meningkatnya dinamika individu dan dinamika kelompok dalam organisasi tersebut.
Dewasa ini pandangan yang dominan mengenai konflik adalah pandangan ketiga yang dikenal dengan istilah “pandangan yang interaksionis”. Pandangan ini berkisar pada pendapat yang mengatakan bahwa adanya konflik dalam kehidupan organisasional merupakan hal yang baik. Karena baik, timbulnya timbul justru perlu didorong karena tanpa adanya konflik kehidupan organisasional akan diwarnai oleh berbagai sikap seperti:
  1. Apatetik,
  2. Tidak responsive terhadap kebutuhan dan tuntutan perubahan,
  3. Tidak berkembangnya daya pikir yang inovatif dan kreatif,
  4. Timbulnya rasa aman yang berlebihan,
  5. Terdapat rasa kepuasan yang terlalu besar,
  6. Cara bertindak yang terlalu kompromistik,
  7. Gaya hidup organisasional yang memberikan nilai tinggi bagi konformitas.
Terlepas dari adanya tiga pandangan tersebut seperti telah disinggung di muka, sesungguhnya permasalahan tentang konflik tidak dapat dilihat secara simplistic, apabila dengan pandangan yang dikotomikal yang mengatakan bahwa semua konflik baik atau semua konflik tidak baik. Memang secara teoritikal dapat dikatakan bahwa ada jenis- jenis konflik tertentu yang “baik” karena sifatnya fungsional bagi organisasi da nada pula jenis- jenis konflik tertentu yang “tidak baik” karena sifatnya yang disfungsional bagi organisasi. Hanya saja sukar sekali mengenali konflik yang fungsional atau disfungsional. Sangat sukar pula untuk melakukan generalisasi mengenai hal tersebut. Kesukaran demikian diperbesar lagi oleh kenyataan bahwa satu jenis konflik yang mungkin fungsional bagi satu organisasi dalam posisi tertentu, bisa saja disfungsional bagi organisasi lain yang menghadapi situasi yang berbeda.
Sepanjang, diketahui dewasa ini, konflik yang mendukung tercapainya tujuan, meningkatkan prestasi kerja dipandang sebagai jenis- jenis konflik fungsional dan oleh karenanya dapat dikategorikan sebagai konflik yang “baik”. Jenis- jenis konflik demikianlah yang dapat dibenarkan timbul dalam organisasi.
Tetapi perlu ditekankan bahwa konflik yang demikian pun harus diatasi, sebab apabila tidak ia dapat berubah menjadi konflik yang disfungsional. Sebaliknya jika suatu konflik menjadi penghalang bagi peningkatan prestasi kerja, tidak mendukung tercapainya tujuan dan tidak memperkokoh kohesi dalam organisasi, konflik demikian dikatakan bersifat disfungsional.
2.3 Teknik- Teknik Dalam Mengatasi Suatu Konflik.
Semua jenis konflik yang timbul, baik yang tergolong fungsional dan konstruktif maupun yang tergolong disfungsional dan destruktif, harus diatasi dan disinilah peranan pimpinan selaku moderator menjadi sangat penting. Teori yang telah dikembangkan dewasa ini memberikan petunjuk tentang adanya lima teknik atau cara yang dapat digunakan oleh seorang pimpinan selaku moderator dalam usahanya menangani konflik yang timbul, baik antara individu yang tergabung dalam satu kelompok kerja maupun antara berbagai kelompok yang terdapat dalam organisasi. Teknik atau cara tersebut adalah, sebagai berikut:
  1. Kompetisi
Persaingan yang sehat antara individu dalam satu kelompok kerja dan antarkelompok dapat merupakan daya dorong yang kuat untuk meningkatkan prestasi kerja, produktivitas dan inovasi. Hanya saja perlu ditekankan bahwa satu- satunya alas an untuk mendorong persaingan itu ialah kepentingan organisasi, bukan kepentingan orang per orang dan bukan pula kepentingan kelompok tertentu dalam organisasi. Artinya, kompetisi harus diartikan sebagai usaha berlomba- lomba untuk memberikan yang terbaik baik organisasi. Ternyata teknik ini merupakan salah satu cara untuk mengatasi konflik. Cara ini dipandang tepat apabila situasi yang dihadapi menunjukkan tiga sikap, yaitu:
  • Organisasi menghadapi keadaan darurat dan oleh karenanya diperlukan tindakan cepat, misalnya adanya keputusan segera,
  • Terdapat hal- hal penting dalam menuntut diambilnya tindakan yang tidak popular, misalnya pengurangan dana, penegakan disiplin secara ketat dan tindakan sejenis lainnya,
  • Timbul masalah yang menyangkut kelangsungan hidup organisasi sebagai keseluruhan.
Jadi, teknik mengatasi konflik yang terwujud dalam bentuk dorongan persaingan digunakan dalam situasi kritis pada waktu mana para anggota organisasi diharapkan berbuat segala sesuatu yang mungkin dilakukan demi teratasinya situasi krisis tersebut.
  1. Kolaborasi
Peranan seorang pimpinan selaku mediator dalam mengatasi konflik dengan mendorong kolaborasi antara individu dan atau antara kelompok dalam organisasi ternyata bermanfaat dan efektif jika situasi yang dihadapi mempunyai ciri- ciri:
  • Situasi yang dihadapi memerluakan ditemukannya jalan keluar yang integratif dalam hal terdapatnya dua kepentingan yang terlalu penting untuk dikompromikan,
  • Apabila sasaran yang di ingin dicapai adalah menumbuhkan keinginan belajar dikalangan pihak- pihak yang terlibat,
  • Apabila konflik yang dihadapi menuntut penggabungan dari pelbagai pandangan yang bertolak dari perspektif yang berbeda,
  • Situasi menuntut adanya komitmen berbagai pihak dengan menginkoordinasikan berbagai kepentingan menjadi kebersamaan,
  • Apabila hubungan kerja terganggu karena adanya prinsip yang berbeda- beda.
Jelaslah bahwa teknik ini bermanfaat untuk digunakan jika situasi konflik yang timbul dan hendak diatasi timbul sebagai akibat dari persepsi yang berbeda- beda tentang apa yang dipandang sebagai kepentingan individu atau kelompok. Teknik ini mengakui adanya perbedaan tersebut karena dengan meluruskan persepsi yang berbeda- beda untuk kesamaan pendapat tentang kebersamaan kepentingan organisasional dapat diwujudkan yang menghasilkan kolaborasi antara berbagai pihak yang terlibat.
  1. Pengelakan
Teknik lain yang dapat dan biasa digunakan oleh seorang pimpinan dalam menangani konflik yang timbul dalam organisasi yang dipimpinya ialah teknik pengelakan. Teknik ini dipandang efektif apabila situasi konflik yang dihadapi mempunyai tujuh sifat berikut:
  • Apabila diketahui bahwa permasalahan yang menimbulkan situasi konflik sesungguhnya tidak penting atau kalau dipandang ada permasalahan lain yang dianggap lebih penting dan memerlukan penanganan segera,
  • Apabila pimpinan merasa bahwa pihak- pihak yang terlibat berpendapat bahwa kecil kemungkinan terjalinnya kepentingan mereka,
  • Apabila disrupsi yang mungkin timbul lebih besar bobotnya dibandingkan dengan keuntungan yang mungkin diperolah apabila konflik tidak diatasi,
  • Apabila pihak- pihak yang terlibat memerlukan waktu untuk menenangkan diri dan perlu kesempatan berpikir dengan tenang guna memperoleh perspektif yang tepat,
  • Apabila ketubuhan akan informasi tambahan lebih penting dari adanya tindakan segera,
  • Apabila ada orang lain yang dapat menyelesaikan konflik itu dengan cara yang lebih efektif diluar pihak- pihak yang sekarang terlibat,
  • Apabila sitruasi konflik nampaknya hanya bersifat simptomatik dan konflik yang sesungguhnya belum menampakkan diri secara jelas.
Dari ciri- ciri diatas terlihat adanya jenis- jenis konflik tertentu yang tidak membahayakan kelangsungan hidup organisasi dan tidak pula terlalu mempengaruhi iklim kerja dalam organisasi apabila pimpinan selaku mediator mengambil keputusan untuk menunda penanganan konflik tersebut. Inilah yang dimaksud dengan teknik pengelakan.
  1. Akomodasi
Teknik ini mendorong timbulnya sikap yang akomodatif diantara pihak- pihak yang terlibat dalam situasi konflik tertentu dan dipandang tepat digunakan apabila:
  • Pimpinan selaku mediator melihat bahwa salah satu pihak merasa bahwa pihaknya memang salah dan oleh karenanya perlu diberikan kesempatan untuk mendengar dan belajar dari orang atau pihak lain,
  • Terdapat perasaan dikalangan pihak- pihak yang terlibat bahwa ada hal- hal tertentu yang dipandang lebih penting bagi pihak lain dibanding pihak sendiri yang berarti bahwa mendahulukan kepuasan pihak lain itu harus mnjadi pertimbangan utama,
  • Membina iklim yang memungkinkan pihak lain menerima pandangan pihak sendiri jauh lebih penting dari tindakan segera,
  • Terdapat perasaan bahwa sangat penting memperkecil kerugian bagi diri sendiri karena ternyata pihak lain lebih kuat,
  • Keserasian dan stabilitas dipandang sangat penting bagi kehidupan organisasional,
  • Pimpinan merasa perlu memberikan kesempatan kepada para bawahan untuk belajar dari pengalaman dan kesalahan yang diperbuatnya yang menimbulkan situasi konflik tersebut.
Terlihat dengan jelas bahwa cara penyelesaian situasi konflik yang akomodatif merupakan kebalikan dari cara yang konfrontatif. Yang menonjol dalam penggunaan teknik ini ialah usaha pimpinan untu mendorong sikap mengalah dikalangan pihak- pihak yang terlibat.
  1. Kompromi
Seorang pimpinan, dalam usahanya mengatasi situasi konflik yang timbul diantara para anggotanya, dapat menggunakan teknik yang mendorong sikap yang kompromistik. Sebagai halnya dengan teknik- teknik lain yang dapat digunakan dalam mengadapi berbagai situasi konflik, ketepatan teknik ini pun sangat tergantung pada situasi konflik yang dihadapi. Menurut teori, teknik ini tepat digunakan apabila situasi konflik yang hendak diatasi mempunyai lima sifat, yaitu:
  • Pencapaian sasaran tertentu memang penting akan tetapi tidak sedemikian pentingnya sehingga sikap yang tegas dan keras diperlukan,
  • Apabila pihak “lawan” dengan kekuatan yang sama dengan kekuatan yang dimiliki oleh pihak sendiri sudah terikat pada tujuan tertentu yang sifatnya “mutually”,
  • Apabila pemecahan yang ingin dicapai bersifat sementara terhadap permasalahan yang sesungguhnya kompleks karena pemecahan tuntas terhadap permasalahan yang kompleks itu diperhitungkan justru akan mempertajam konflik yang telah ada,
  • Apabila pemecahan harus ditemukan dengan segera sehingga asal saja pemecahan itu memadai, pihak- pihak yang berkepentingan dapat menerimanya,
  • Apabila yang diperlukan adalah tindakan pengamanan mungkin bersifat sementara karena cara lain seperti kolaborasi atau kompetensi tidak mendatangkan hasil yang diharapkan.
Dari pembahasan singkat diatas terlihat bahwa teknik kompromi hanya tepat untuk usaha mengatasi situasi konflik apabila hasilnya dipandang memadai apabila status quo dapat dipertahankan sambil melakukan upaya yang diharapkan mendatangkan hasil yang relatif permanen.
2.4 Cara Mengetahui Peranan Pemimpin Dalam Mengatasi Konflik Berhasil Atau Tidak Berhasil
Sudah barang tentu setiap pimpinan ingin mengetahui sampai sejauh mana ia berhasil atau tidak berhasil dalam menyelenggarakan fungsinya selaku mediator, khususnya dalam mengatasi situasi konflik. Ukuran satu- satunya ialah hasil yang dicapai. Seorang pimpinan dapat dikatakan berhasil mengatasi konflik apabila terwujud, antara lain:
  1. Stimulasi bagi para bawahan untuk semakin kreatif dan inovatif,
  2. Timbulnya dorongan perhatian dan rasa ingin tahu dikalangan para bawahannya,
  3. Peningkatan kemampuan para bawahan untuk mengemukakan dan merumuskan suatu permasalahan secara baik,
  4. Penyaluran ketegangan secara baik,
  5. Menumbuhkan situasi yang mendorong iklim dalam mana para bawahan mampu melakukan penilaian atas diri sendiri yang pada gilirannya mempermudah terjadinya perubahan dimasa yang akan datang, baik yang menyangkut persepsi, kemampuan kognitif maupun sikap dan perilaku dimasa yang akan datang.
Sebaliknya, seorang pimpinan dapat dikatakan kurang berhasil dalam memainkan perannya selaku mediator apabila dalam menangani situasi konflik yang terjadi ialah:
  1. Tidak terdorong timbul dan berkembangnya iklim dimana komunikasi kesemua jurusan yaitu vertical kebawah, vertical keatas, secara horizontal dan diagonal, melalui mana berbagai hal yang dapat menimbulkan situasi konflik dapat dihindarkan,
  2. Tidak meningkatkan kekompakan diantara para bawahannya,
  3. Tetap menonjolkan kepentingan pribadi diatas kepentingan organisasi.
Jelaskan bahwa kemampuan menjalankan fungsi kepemimpinan selaku mediator yang rasional, objektif, dan netral merupakan salah satu indicator efektifitas kepemimpinan seseorang. (Siagian, 2010: 59- 70).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar