Kamis, 06 Maret 2014

penyebaran pengajaran dan mobilitas sosial, SNI V



PENYEBARAN PENGAJARAN DAN MOBILITAS SOSIAL
2.1     Pertumbuhan Sekolah Pemerintah Dan Sekolah Yang Bersubsidi
Waktu pemerintah yang dahulu bernama Hindia Belanda memasuki gerbang abad ke-20 jumlah sekolah sangat terbatas . Sekolah rendah pemerintah seluruhnya hanya berjumlah 60 buah, sedangkan jumlah penduduk di perkirakan  37 juta.  Selain sekolah pemerintah ada juga sekolah swasta, yang umumnya di perutukkan bagi penduduk nonpribumi, sebanyak 359.  Di beberapa daerah, sekolah yang didirikan oleh misi dan zending  berjumlah  451 buah.  Jadi, keseluruhan jumlah sekolah hanya  1.501 buah.
Sekolah yang baik, yang seluruhnya memakai sistem dan tingkat pelajaran yang tidak kalah dari negeri belanda, lebih kecil jumlahnya. Dari jumlah yang kecil ini hanya secuil tempat yang tersedia bagi anak-anak pribumi. Pada tahun 1900 tercatat sebanyak 169 ELS di seluruh indonesia, dengan jumlah murid anak pribumi sebanyak 1.545 orang, sedangkan jumlah murid Eropa berjumlah 13.592 orang. Dari sekolah ini murid-murid dapat melanjutkan pelajaran ke sekolah “dokter jawa” Di Betawi yang telah mengalami beberapa kali pembaruhan sejak didirikan pada tahun 1851. Secara teori, dapat meneruskan ke HBS (Hoogere Burgerschool) dan OSVIA (Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtenaren) atau sekolah pegawai yang jumlahnya kira- kira ada 6 buah. Sekolah yang lebih umum ialah Kweekschool, yang  jumlahnya sebanyak 5 buah, diantaranya ada dua di luar jawa, manado dan Bukittinggi. Sekolah ini mengharapkan dapat menghasilkan guru-guru untuk sekolah pemerintah. STOVIA di Jakarta dan Kweekschool, biasa disebut sekolah Raja. STOVIA adalah sekolah dokter pertama  untuk pribumi yang mengumpulkan murid-murid dari seluruh penjuru tanah air. Peran yang terpenting dari sekolah ini ialah dalam memperkembangkan bahasa Melayu. Van Ophuysn yang terkenal sebagai perumus ejaan Melayu pernah mengajar di sekolah ini.
Sejalan dengan makin meluasnya pengaruh pemerintah dalam kehidupan ekonomi dan administratip, mulailah keinginan untuk bersekolah bertambah di kalangan rakyat. Hal ini dipelancar karna dimulainya sistem sekolah desa atau volksschool, yang didirikan oleh masyarakat setempat dan dengan subsidi serta bimbingan dari pemerintah.
Sekolah tiga tahun ini mempunyai sasaran untuk menghilangkan keasingan terhadap sekolah  dan supaya anak negeri tidak takut dinasranikan serta mengurangi beban biaya pemerintah. Jenis sekolah ini di perkenalkan oleh Gubernur  Jendral Van Heutz. Pada tahun 1908 sekolahcepat berkembang dan meluas. Pada tahun 1913 jumlah sekolahdesa tercatat 111 buah dan pada tahun 1915 meningkat menjadi 350 buah.
Kecenderungan seperti ini juga kelihatan pada sekolah-sekolah Belanda yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, baik milik pemerintah maupun swawta bersubsidi. Pada tahun 1924 pemerintah memperkenalkan sekolah-sekolah schakel, yang menghubungkan sekolah bumiputra dengan sekolah Belanda. Hal ini sedikit menolong kenaikan jumlah sekolah-sekolah Belanda. Antara tahun 1910 dan tahun1930 kenaikan sampai delapan kali lipat atau dengan angka menjadi 43.411 orang.
Laju kenaikan ini akan lebih kentara jika dilihat pula jumlah yang sanggup mendapatkan ijasah, kerena angka murid yang tidak sanggup menyelesaikan sekolah cukup luar biasa tingginya selama zaman kolonial. Sejak tahun puncak kemajuan pendidikan gaya Barat sampai akhir masa kolonial, persentase murid yang sanggup mendapatkan ijazah hanyalah kira seperempat atau 25 persen. Dalam waktu tiga tahun (1900-1904) jumlah murid pribumi yang dapat menyelesaikan pelajaran sekolah Belanda, baik milik pemerintah maupun swasta bersubsidi ialah 143 orang. Pada dasawarsa berikutnya (1910-1914) angka ini telah naik lima kali lipat yaitu 652 orang. Dalam satu tahun saja, tahun 1930 jumlah murid yang dapat menyelesaikan pelajaran dengan berijazah ialah sebanyak 4.674 orang. Pada tahun 1940, ketika murid berjumlah 88.223 orang, yang dapat menylesaikan pelajaran ialah sebanyak 7.790 orang. Hal ini bukan saja karena diperketetnya murid yang dapat masuk sekolah-sekolah tersebut melainkan juga disebabkan oleh kemampuan ekonomi yang relatif lebih baik dari para orang tua yang memasukkan anaknya ke sekolah mahal tersebut.
Setelah tahun 1930 terjadi pasang turun dan naik yang saling bergantian pada setiap tahunnya. Gejala lain ialah bahwa walaupun sekolah kejuruan, seperti Kweekschool dan dokter jawa merupakan sekolah yang tertua, selama periode ini mulai pula kecenderungan yang akan terus berlanjut sampai masa sesudah masa penjajahan, masa lebih populernya sekolah umum. Sekolah-sekolah kejuruan tetap memainkan peran penting dalam kelompok sekolah Bumiputera, yang terdiri atas sekolah-sekolah guru atau normal, menteri kesehatan,

pertukangan, perkebunan, dan magang,  jumlahnya hanyalah 5.233 orang. Dalam jumlah ini telah terhitung murid-murid MOSVIA, PHS (sekolah dagang), Ambacht school, Kweekschool, HIK dan sebagainya. Sedangkan jumlah murid pribumi sekolah MULO Saja pada waktu yang bersamaan mencapai angka 6.906 orang.
Jika diikuti pertumbuhan sekolah-sekolah menengah umum, seperti MULO, AMS,  dan HBS,kelihatanlah bahwa Antara tahun 1910 dan tahun 1930 terjadi kenaikan yang luar biasa. Pada tahun 1910 jumlah murid pribumi dari ketiga jenis sekolah elite tersebut hanyalah 500 orang. Pada tahun 1930 jumlahnya telah menjadi 7.776 orang (tanpa MULO, jumlahnya ialah 870 orang saja). Setelah tahun 1930 perkembangan sekolah pemerintah dan swasta bersubsidi menurun karena dimulainya politik pengematan dan disebabkan oleh politik yang lebih memperhitungkan tenaga terdidik yang dihasilkan sekolah sudah tidak sanggup lagi ditampung oleh lowongan kerja yang tersedia.
2.2     Perguruan Tinggi Dalam dan Luar Negeri
Tahun 1924 sekolah teknik yang berada di Bandung, yang didirikan pada tahun 1920, dijadikan Technische Hogeschool. Pada tahun yang sama murid-murid yang pintar tamatan Rechtsschool atau sekolah hakim di Betawi boleh menguji peruntungan sekolah hakim tinggi. Pada tahun 1913 STOVIA di Jakarta mendapatkan teman dengan didirikannya NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) pada tahun 1927 STOVIA secara beransur mulai ditransformasikan menjadi sekolah tinggi kedokteran atau Geneeskundige Hogeschool. Sembilan tahun kemudian STOVIA dihapuskan dan tinggalah NIAS yang tetap menjalankan tugas sebagai sekolah kedokteran.
Sejak dimulai proyek perguruan tinggi sampai dengan tahun ajaran 1929/1930, kecuali pada tahun 1926/1927, jumlah mahasiswa Eropa lebih banyak daripada jumlah mahasiswa Pribumi. Dilihat dari angka tamatan perguruan tinggi , orang Indonesia pertama kali menamatkan pelajaran di sekolah tinggi pada tahun 1925 berjumlah 4 orang, sedangkan mahasiswa Eropa sebanyak 9 orang dan mahasiswa Cina sebanyak 3 orang. Pada tahun ajaran 1933/1934, untuk pertama kali jumlah mahasiswa pribumi yang menamatkan pelajaran yang menamatkan pelajaran lebih dari sepuluh orang yaitu 14 orang pribumi, 12 orang cina dan 8 orang Eropa. Sampai dengan tahun ajaran 1939/1940 perguruan tinggi dalam negeri telah menghasilkan sebanyak 532 orang. Pribumi yang dengan bangga boleh memakai gelar akademis sampai dengan tahun tersebut berjumlah 230 orang, sedangkan orang eropa sebanyak 195 orang dan Tionghoa 105 orang.
Disamping kesempatan untuk belajar di dalam negeri, sebenarnya sejak awal abad ke-20 telah mulai terbuka bagi anak-anak indonesia untuk belajar di luar negeri, khususnya negeri Belanda. Pada tahun 1900 ada lima orang mahasiswa yang belajar di negeri Belanda. Secara pelan-pelan jumlah ini makin lama makin meningkat. Bangsawan terkemuka dan kaya mulai mengirimkan anak-anak yang betul-betul dirasakan penuh harapan. Karena yang dapat dibiayai oleh pemerintah ini sangat sedikit jumlahnya, hanya yang betul-betul mampu yang sanggup mengirim anak Eropa. Tetapi sejak tahun 1910-an mulai berkembang dibeberapa tempat sistem studiefonds atau dana-dana siswa, yang anggotanya terdiri dari orang-orang sekerja dan sekampung. Studiefonds ini jugaberusaha mengirim anak-anak yang berbakat ke Eropa. Pada tahun 1911 di sebuah desa di kota Gedang, Sumatra Barat telah mengirimkan dua orang calon guru ke negeri Belanda. Cara lain untuk dapat belajar ke Eropa ialah dengan biaya sendiri.
Sejak tahun ajaran 1924/1925 sampai dengan 1939/1940 rata-rata jumlah mahasiswa pribumi yang memasuki perguruan tinggi di negeri Belanda ialah sebanyak 21-22 setiap, sedangkan dari golongan cina antara 22 dan 23 orang. Selama priode lima belas tahun jumlah keseluruhan mahasiswa indonesia yang mendapat kesempatan untuk belajar di negeri Belanda ialah sebanyak 344 orang sedangkan dari golongan cina sebanyak 136 orang. Sebagian besar mahasiswa indonesia yang berada di negeri Belanda belajar di Universitas Leiden, yang merupakan salah satu pusat ilmu tertua di Eropa dan juga merupakan pusat intelektual dan politik kolonial etis. Jumlah mahasiswa yang belajar di Universitas Leiden ialah sebanyak 199 orang. Mereka memasuki berbagai fakultas, seperti kedokteran, hukum dan sastra. Selain itu mahasiswa indonesia juga belajar di Universitas Kotapraja Amsterdam sebanyak 50 orang dan Universitas Utrecht yang merupakan pusat perumus kebijaksanaan politik kolonial, sebanyak 34 orang. Di samping itu, sekolah tinggi teknik di Delfp, sekolah tinggi pertanian di Wageningen dan sekolah tinggi ekonomi di Rotterdam juga dikunjungi oleh mahasiswa Indonesia. Ketiga tempat tersebut masing-masing menerima mahasiswa Idonesia sebanyak 25. 23, dan 13 orang.
Tidak dapat diketahui dengan pasti berapa orang akhirnya yang dapat menyelesaikan pelajaran dari generasi sebelum perang ini. Pada waktu perang dunia kedua meletus dan Belanda diduduki Jerman sebagian dari mahasiswa Indonesia juga ikut menjadi barisan bawah tanah, yang menyebabkan studi mereka terkatung-katung. Namun, peran negeri Belanda akan lebih terasa jika diingat bahwa beberapa putra Indonesia juga berhasil mendapatkan titel kesarjanaan yang tertinggi disana. Tahun 1913 seorang pemuda Banten dari keluarga Djajadiningrat, menghasilkan disertai yang sampai sekarang di anggap sebagai salah satu karya puncak dalam studi filologi Indonesia, ia adalah Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat.  
Ada juga mahasiswa indonesia yang belajar di Kairo, Al-Azhar merupakan pusat pengetahuan islam yang tertua di dunia, Darul-Ulum, Universitas modern yang pertama di Mesir. Pada awal abad ke-20 mahasiswa indonesia mulai mengalihkan perhatiannya kekairo secara berangsur-angsur. Di tahun 1920-an dan awaltahun1930-an diperkirakan ada 350 orang mahasiswa dalam”jawah”, berada di sana. “Jawah” Berarti kelompok pendatang yang berasal dari indonesia dan semenanjung melayu. Mahasiswa indonesia di  Kairo, terutama yang berasal sumatra , terlibat dalam pergerakan kebangsaan. Mereka mulai terpengaruh oleh cita-cita nasionalisme yang disebarkan di Mesir. Di beberapa daerah, terutama di Sumatra Barat, kaum terpelajar yang pernah belajr di Kairo berhasil mengalahkan keunggulan ulama dalam pergerakan massa dan memperkecil peran yang dapat di mainkan oleh kaum terpelajar didikan Barat. Mereka baik sebagai tokoh politik pergerakan maupun sebagai pendidik berhasil memperluas pengaruh di kalangan rakyat. Jalan yang terpenting bagi penyebaran pengaruh ini ialah jaringan sekolah, yang didirikan oleh perkumpulan mereka. Sekolah swasta, yang menekankan pendidikan agama yang ,merupakan pemecahan bagi kekurangan dari jumlah yang tersedia dan memberikan pilihan baru dalam dunia pendidikan.
2.3     Sekolah Swasta Yang Tidak Bersubsidi
Sekolah dalam pengertian yang umum sebenarnya tidaklah begitu asing dalam tradisi tanah air kita. Pesantren, madrasah dan berbagai sekolah agama sudah lama di kenal. Pesantren dan madrasah merupakan jenis sekolah yang coraknya bertolak belakang dengan sekolah yang diperkenalkan pemerintah, baik dari sudut pengajaran maupun cara pendidikannya. Sekolah umum swasta pada dasarnya dapat dibedakan antara yang mengikuti corak dan sifat sekolah pemerintah dan bersubsidi serta yang dengan sadar mencari sifat lain. Taman siswa adalah usaha untuk memberi dasar ideologi bagi sekolah dan sekolah umum yang didirikan oleh perkumpulan agama, seperti Muhammadiyah yang mengikutsertakan pengajaran dan pendidikan agama untuk anak didik mereka.
Disamping itu, ada juga sekolah swasta yang memperkenalkan corak pendidikan baru seperti INS(Indonesisch Nederlandsche School) Kuyu tanam yang terkenal. Hampir tanpa kecuali dapat dikatakan bahwa sekolah swasta umumnya bersifat nasionalistis yang antikolonial. Sekolah didirikan oleh perkumpulan dan tokoh pergerakan yang mengutamakan jalan pendidikan dalam pergerakan mereka. Oleh sebab itu, banyak didirikanya berbagai kursus bebas mulai dari kursus memberantas buta huruf, mengetik dan kursus politik. Tidak mengerankan bahwa pemerintah Belanda menamakan mereka sebagai wilde scholen atau sekolah liar. Liar dalam arti sifatnya bercorak anti kolonial dan juga karna sekolah-sekolah sering mengalami masa pasang naik dan pasang surut. Sekolah yang merupakan cabang tersebut umumnya didirikan oleh penduduk setempat kemudian mengikatkan diri dengan organisasi besar. Jadi dalam banyak hal, terutama yang menyangkut soal keuangan, tersedianya guru-guru dan jumlah murid, sekolah-sekolah sangat tergantung pada keadaan setempat. Selagi organisasi atau perseorangan pengambil inisiatif dari pendirian sekolah tersebut masih aktif dan dapat dipercaya masyrakat maka sekolah tersebut dapat maju. Akan tetapi penguasa setempat mulai bertindak, semangat para pendukung mulai luntur dan keadaan ekonomi mulai merosot mengakibatkan sekolah tersebut harus gulung tikar.
Berdasarkan perhitungan Inspektur Pedidikan pada tahun 1937/1938 terdapat sekolah swasta yang tergolong liar sebanyak 1.691 (tidak termasuk sekolah-sekolah Taman Siswa). Secara formal, sekolah-sekolah yang dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantara dapat tergolong liar dalam arti tidak dapat subsidi, tetapi mendapatkan pengargaan dari sudut mutu. Di sekitar tahun 1930-an jumlah sekolah yang tergabung dalam taman siswa ialah sebanyak 99 buah, dengan perincian sebagai berikut: HIS Sebanyak 45 buah, MULO 46 buah, AMS 7 buah, Kweekschool 1 buah.
Sekolah swasta umumnya murah dan siapapun dapat memasukinya tanpa memperhitungkan kedudukan ataupun kekayaan. Jadi terlepas dari mutu yang kadang-kadang begitu baik, sekolah swasta mempercepat proses demokratisasi pendidikan dan juga memberikan kemungkinan lain dalam sistem dan corak pendidikan. Oleh karena itu, sekolah-sekolah swasta yang didirikan dan diselenggarakan oleh pribumi, mendidik calon-calon nasionalis.
2.4     Latar Belakang Sosial Dari Murid-Murid Sekolah Pemerintah
Untuk menentukan status seseorang dalam masyarakat kolonial, pemerintah Belanda berpegangan pada penghasilan diatas f.1.200 per-tahun yang dianggap sebagai golongan yang mempunyai status yang cukup tinggi. Dalam dunia kepegawaian ini artinya berlaku bagi pangkat asisten wedana ke atas. Berdasarkan ketentuan pemerintah (Stbld. 1914 No. 359) ada 4 dasar penilaian yang memungkinkan orang tua mengirimkan anak-anak mereka ke HIS, yaitu keturunan, jabatan, kekayaan, atau pendidikan. Jadi, seorang keturunan bangsawan tradisional mempunyai hak untuk memasuki HIS demikian juga seorang yang punya jabatan dalam pemerintahan, seperti: wedana, demang dan sebagainya. Berdasarkan dari variabel lain, yang memakai status bukan jabatan sebagai ukuran, komisi HIS baik kepunyaan pemerintah maupun swasta yang bersubsidi berasal dari kategori C,seperti: pegawai, pengusaha kecil, meliter, petani, nelayan dan orang tua yang pernah mendapat pendidikan HIS yaitu masing-masing 63,57% pada sekolah pemerintah dan 75,30 pada sekolah swasta. Yang dapat dianggap kelas atas ialah kategori A dan B. Dalam kategori A termasuk kaum bangsawan dan pejabat tinggi serta swasta yang kaya, yang berpenghasilan bersih lebih dari 75 gulden sebulan. Mereka merupakan orang tua dari 34,93% dari jumlah murid HIS pemerintah dan 23,79% dari murid swasta. Yang termasuk kategori B ialah orang tua yang tamatan sekolah MULO dan Kweekschool ke atas. Anak-anak dari golongan  Ini merupakan 1,50% dari murid HIS pemerintah dan 0,91% dari kelas swasta.
Berdasarkan catatan ini nyatalah bahwa HIS sejak semula telah membuka pintu bagi terjadinya semacam mobilitas sosial. Terlepas dari ketentuan pemerintah, HIS ternyatah membuka kesempatan bagi golongan swasta dan bagi golongan yang berpenghasilan rendah. Kecenderungan ini lebih kentara pada perbandingan latar belakang Sekolah Schakel, sekolah yang merupakan perantara antara sistem bumiputra dan sistem Belanda, yaitu lebih dari 92% murid-murid Schakel berasal dari orang tua yang tidak berpenghasilan tinggi karena anak-anak dari golongan ini banyak memasuki lebih dahulu sistem pendidikan bumiputra yang bermula dengan volksschool. Demikian pula tidaklah mengherankan bahwa sebagian besar murid ELS yang diperuntukan untuk golongan Eropa berasal dari kalangan atas.
Gambaran latar belakang sosial murid-murid yang berkesempatan memasuki sekolah sistem Belanda kelihatan bahwa bagi golongan yang tidak begitu berada dan berpangkat juga terbuka kesempatan untuk memasuki sistem Belanda. Besarnya kesempatan ini jika di bandingkan antara jumlah yang bersekolah dengan yang tidak, karena kelangkaan kesempatan inilah sekolah merupakan daya tarik yang kuat dan di anggap sebagai jalan terdekat untuk mendidik anak menjadi orang berpangkat.
2.5     Sekolah, Kesempatan Kerja dan Mobilitas Sosial
Jasa pertama dari pengajaran sistem Barat ialah memperkuat dasar legitimasi atau kesahan bagi penguasa bumiputra. Dengan pengajaran Barat mereka lebih merasa percaya diri sebab  pada diri mererka telah bekumpul dua sumber kesahan, yaitu keturunan yang mempunyai tarikan tradisional dan pengajaran Barat yang memungkinkanya untuk menjadi perantara dengan penguasa asing. Oleh karena itu, tuntutan bagi pengajaran Barat sangat keras bergema di kalangan mereka. Tuntutan ini lebih keras karena di mulainya pelebaran kelas pegawai oleh pemerintah kolonial sekitar awal abab ke-20. Hal ini langsung mengancam kedudukan keluarga pegawai lama yang hanya harus bertompang pada kebanggaan keturunan. Keadaan makin lama makin berubah, dengan makin banyaknya sekolah makin keras pula keharusan untuk mendapatkan pekerjaan dan kenaikan pangkat.
Dari latar belakang sosial murid-murid HIS, sekolah yang membuka pintu bagi kelanjutan pendidikan dapat diduga bahwa banyak juga diantara pejabat yang mendapat kedudukan karena keahlian yang dimilikinya tersebut berasal dari golongan bawah. Sekolah dalam hal ini telah memulai semacam pelebaran mobilitas sosial dan dengan pengaru yang lebih terbatas. Kecenderungan terbukanya jalan yang lebih lebar bagi mobilitas sosial terdapat pula dalam dunia kepegawaian. Anak-anak pegawai rendah, karena pendidikan mereka peroleh, mempunyai kesempatan untuk melampaui tingkat yang pernah dicapai oleh orang tua mereka. Pada tahun 1928/1929 di kota-kota dari seluruh tenaga yang mendapat didikan Barat, maka 80,5% adalah orang gajian dan 2,5%  yang bekerja sebagai bawahan dari majikan indonesia. Kecilnya sumbangan sekolah Barat bagi pengembangan tenaga yang terlepas yaitu hanya dua persen dari kaum terpelajar Barat tersebut berkerja sendiri dan 15% tidak mempunyai pekerjaan tetap.
Sekolah telah membuka pintu sistem kolonial bagi anak negeri dan dalam mengadakan sekadar tranformasi dalam tubuh birokrasi serta membuka kesempatan bagi lapisan bawah untuk menembus lapisan atas. Begitulah dalam sistem pengakatan pegawai atau promosi, ras dari pemerintah yang berkuasa menjadi ukuran yang mutlak. Akibatnya, terjadilah situasi
dimana tenga-tenaga terdidik indonesia yang juga berpengalaman tidak dapat mendapat tempat atau jika ada tempat tersebut, menemukan dirinya dinilai dibawah kemampuan yang sesungguhnya. Pada tahun 1928/1929 diperkirakan 25%  dari tenaga terdidik indonesia berada dalam keadaan demikian. Menyadari keadaan inilah HIS menasihatkan pemerintah untuk menghentikan perluasan jaringan pengajaran kerena tempo dari perluasan melebihi dari perkembangan sosial dalam situasi kolonial. Perluasan jaringan pengajaran memang berhenti atau sangat diperlambat tetapi kemampuan pemerintah untuk menampung tenaga-tenaga terlatih tersebut baik karena alasan ras, ekonomi maupun politik tetap sangat terbatas. Di saat makin memuncaknya gerakan kebangsaan pada tahun 1930-an, hal itu memperlihatkan berkembangnya sekolah-sekolah swasta, usaha-usaha penerbitan, koperasi dan sebagainya. Peleburan dari sifat sekolah “Belanda” sekailigus memupuk semangat kebangsaan dan meritis kearah terbentuknya corak lain yang bukan kolonial dari masyarakat.
Sementara itu, tamatan sekolah swasta baik yang bercorak sekuler dan agama makin menemukan diri mereka berhampiran dengan kaum terpelajar bebas ini. Walaupun tradisi pendidikan mereka berbeda-beda jika di bandingkan dengan keluaran sekolah agama, mereka menghadapi situasi dan kemungkinan sosial yang hampir sama. Keduanya mendapatkan tempat terlepas dari klaim politik atau kekuasaan. Keunggulan, bukannya kekuasaan yang menjadi sandaran mereka. Yang satu, golongan terpelajar Barat, tersingkir atau menyingkarkan diri sistem kolonial sedangkan yang lain, terutama terpelajar yang berasaskan agama, tidak punya hak dan kesempatan memimpin untuk menjadi bagian dari sistem. Persaingan dan pergolakan serta pesekutuan, yang saling berganti anatara kelompok- kelompok birokrat, terpelajar Barat dan terpelajar agama merupakan salah satu aspek yang penting dalam pembentukan bangsa.
Membicarakan pelebaran jaringan sekolah berarti melibatkan diri dalam persoalan situasi kolonial sebagai keseluruhan. Sekolah bukan saja harus dilihat sebagai kearah pembaruan masyarakat, peningkatan kecerdasan dan sebagai alat bagi terbukanya mobilitas sosial, melainkan juga juga tidak kurang pentingnya sebagai penjelmaan yang subjektif dari politik kolonial. Politik kolonial yang terkait erat dengan segala latar belakang filosofis dan dasar etis yang bersifat rasionalisasi “beban orang kulit putih” dan prasangka rasial. Karena itulah hasil yang dapat dicapai oleh sekolah yang didirikan dan diperkenalkan oleh pemerintah kolonial serba terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar