PENYEBARAN PENGAJARAN
DAN MOBILITAS SOSIAL
2.1
Pertumbuhan
Sekolah Pemerintah Dan Sekolah Yang Bersubsidi
Waktu
pemerintah yang dahulu bernama Hindia Belanda memasuki gerbang abad ke-20
jumlah sekolah sangat terbatas . Sekolah rendah pemerintah seluruhnya hanya
berjumlah 60 buah, sedangkan jumlah penduduk di perkirakan 37 juta. Selain sekolah pemerintah ada juga sekolah
swasta, yang umumnya di perutukkan bagi penduduk nonpribumi, sebanyak 359. Di beberapa daerah, sekolah yang didirikan
oleh misi dan zending berjumlah 451 buah.
Jadi, keseluruhan jumlah sekolah hanya
1.501 buah.
Sekolah
yang baik, yang seluruhnya memakai sistem dan tingkat pelajaran yang tidak
kalah dari negeri belanda, lebih kecil jumlahnya. Dari jumlah yang kecil ini hanya
secuil tempat yang tersedia bagi anak-anak pribumi. Pada tahun 1900 tercatat
sebanyak 169 ELS di seluruh indonesia, dengan jumlah murid anak pribumi
sebanyak 1.545 orang, sedangkan jumlah murid Eropa berjumlah 13.592 orang. Dari
sekolah ini murid-murid dapat melanjutkan pelajaran ke sekolah “dokter jawa” Di
Betawi yang telah mengalami beberapa kali pembaruhan sejak didirikan pada tahun
1851. Secara teori, dapat meneruskan ke HBS (Hoogere Burgerschool) dan OSVIA
(Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtenaren) atau sekolah pegawai yang
jumlahnya kira- kira ada 6 buah. Sekolah yang lebih umum ialah Kweekschool,
yang jumlahnya sebanyak 5 buah,
diantaranya ada dua di luar jawa, manado dan Bukittinggi. Sekolah ini
mengharapkan dapat menghasilkan guru-guru untuk sekolah pemerintah. STOVIA di
Jakarta dan Kweekschool, biasa disebut sekolah Raja. STOVIA adalah sekolah
dokter pertama untuk pribumi yang
mengumpulkan murid-murid dari seluruh penjuru tanah air. Peran yang terpenting
dari sekolah ini ialah dalam memperkembangkan bahasa Melayu. Van Ophuysn yang
terkenal sebagai perumus ejaan Melayu pernah mengajar di sekolah ini.
Sejalan
dengan makin meluasnya pengaruh pemerintah dalam kehidupan ekonomi dan
administratip, mulailah keinginan untuk bersekolah bertambah di kalangan
rakyat. Hal ini dipelancar karna dimulainya sistem sekolah desa atau
volksschool, yang didirikan oleh masyarakat setempat dan dengan subsidi serta
bimbingan dari pemerintah.
Sekolah
tiga tahun ini mempunyai sasaran untuk menghilangkan keasingan terhadap sekolah
dan supaya anak negeri tidak takut
dinasranikan serta mengurangi beban biaya pemerintah. Jenis sekolah ini di
perkenalkan oleh Gubernur Jendral Van
Heutz. Pada tahun 1908 sekolahcepat berkembang dan meluas. Pada tahun 1913
jumlah sekolahdesa tercatat 111 buah dan pada tahun 1915 meningkat menjadi 350
buah.
Kecenderungan
seperti ini juga kelihatan pada sekolah-sekolah Belanda yang memakai bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar, baik milik pemerintah maupun swawta
bersubsidi. Pada tahun 1924 pemerintah memperkenalkan sekolah-sekolah schakel,
yang menghubungkan sekolah bumiputra dengan sekolah Belanda. Hal ini sedikit
menolong kenaikan jumlah sekolah-sekolah Belanda. Antara tahun 1910 dan
tahun1930 kenaikan sampai delapan kali lipat atau dengan angka menjadi 43.411
orang.
Laju
kenaikan ini akan lebih kentara jika dilihat pula jumlah yang sanggup
mendapatkan ijasah, kerena angka murid yang tidak sanggup menyelesaikan sekolah
cukup luar biasa tingginya selama zaman kolonial. Sejak tahun puncak kemajuan
pendidikan gaya Barat sampai akhir masa kolonial, persentase murid yang sanggup
mendapatkan ijazah hanyalah kira seperempat atau 25 persen. Dalam waktu tiga
tahun (1900-1904) jumlah murid pribumi yang dapat menyelesaikan pelajaran
sekolah Belanda, baik milik pemerintah maupun swasta bersubsidi ialah 143
orang. Pada dasawarsa berikutnya (1910-1914) angka ini telah naik lima kali
lipat yaitu 652 orang. Dalam satu tahun saja, tahun 1930 jumlah murid yang
dapat menyelesaikan pelajaran dengan berijazah ialah sebanyak 4.674 orang. Pada
tahun 1940, ketika murid berjumlah 88.223 orang, yang dapat menylesaikan
pelajaran ialah sebanyak 7.790 orang. Hal ini bukan saja karena diperketetnya
murid yang dapat masuk sekolah-sekolah tersebut melainkan juga disebabkan oleh
kemampuan ekonomi yang relatif lebih baik dari para orang tua yang memasukkan
anaknya ke sekolah mahal tersebut.
Setelah
tahun 1930 terjadi pasang turun dan naik yang saling bergantian pada setiap
tahunnya. Gejala lain ialah bahwa walaupun sekolah kejuruan, seperti
Kweekschool dan dokter jawa merupakan sekolah yang tertua, selama periode ini
mulai pula kecenderungan yang akan terus berlanjut sampai masa sesudah masa
penjajahan, masa lebih populernya sekolah umum. Sekolah-sekolah kejuruan tetap
memainkan peran penting dalam kelompok sekolah Bumiputera, yang terdiri atas
sekolah-sekolah guru atau normal, menteri kesehatan,
pertukangan,
perkebunan, dan magang, jumlahnya
hanyalah 5.233 orang. Dalam jumlah ini telah terhitung murid-murid MOSVIA, PHS
(sekolah dagang), Ambacht school, Kweekschool, HIK dan sebagainya. Sedangkan
jumlah murid pribumi sekolah MULO Saja pada waktu yang bersamaan mencapai angka
6.906 orang.
Jika
diikuti pertumbuhan sekolah-sekolah menengah umum, seperti MULO, AMS, dan HBS,kelihatanlah bahwa Antara tahun 1910
dan tahun 1930 terjadi kenaikan yang luar biasa. Pada tahun 1910 jumlah murid
pribumi dari ketiga jenis sekolah elite tersebut hanyalah 500 orang. Pada tahun
1930 jumlahnya telah menjadi 7.776 orang (tanpa MULO, jumlahnya ialah 870 orang
saja). Setelah tahun 1930 perkembangan sekolah pemerintah dan swasta bersubsidi
menurun karena dimulainya politik pengematan dan disebabkan oleh politik yang
lebih memperhitungkan tenaga terdidik yang dihasilkan sekolah sudah tidak
sanggup lagi ditampung oleh lowongan kerja yang tersedia.
2.2
Perguruan
Tinggi Dalam dan Luar Negeri
Tahun
1924 sekolah teknik yang berada di Bandung, yang didirikan pada tahun 1920,
dijadikan Technische Hogeschool. Pada tahun yang sama murid-murid yang pintar tamatan
Rechtsschool atau sekolah hakim di Betawi boleh menguji peruntungan sekolah
hakim tinggi. Pada tahun 1913 STOVIA di Jakarta mendapatkan teman dengan
didirikannya NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) pada tahun 1927 STOVIA
secara beransur mulai ditransformasikan menjadi sekolah tinggi kedokteran atau Geneeskundige
Hogeschool. Sembilan tahun kemudian STOVIA dihapuskan dan tinggalah NIAS yang
tetap menjalankan tugas sebagai sekolah kedokteran.
Sejak
dimulai proyek perguruan tinggi sampai dengan tahun ajaran 1929/1930, kecuali
pada tahun 1926/1927, jumlah mahasiswa Eropa lebih banyak daripada jumlah mahasiswa
Pribumi. Dilihat dari angka tamatan perguruan tinggi , orang Indonesia pertama
kali menamatkan pelajaran di sekolah tinggi pada tahun 1925 berjumlah 4 orang,
sedangkan mahasiswa Eropa sebanyak 9 orang dan mahasiswa Cina sebanyak 3 orang.
Pada tahun ajaran 1933/1934, untuk pertama kali jumlah mahasiswa pribumi yang
menamatkan pelajaran yang menamatkan pelajaran lebih dari sepuluh orang yaitu
14 orang pribumi, 12 orang cina dan 8 orang Eropa. Sampai dengan tahun ajaran
1939/1940 perguruan tinggi dalam negeri telah menghasilkan sebanyak 532 orang.
Pribumi yang dengan bangga boleh memakai gelar akademis sampai dengan tahun
tersebut berjumlah 230 orang, sedangkan orang eropa sebanyak 195 orang dan
Tionghoa 105 orang.
Disamping
kesempatan untuk belajar di dalam negeri, sebenarnya sejak awal abad ke-20
telah mulai terbuka bagi anak-anak indonesia untuk belajar di luar negeri,
khususnya negeri Belanda. Pada tahun 1900 ada lima orang mahasiswa yang belajar
di negeri Belanda. Secara pelan-pelan jumlah ini makin lama makin meningkat.
Bangsawan terkemuka dan kaya mulai mengirimkan anak-anak yang betul-betul
dirasakan penuh harapan. Karena yang dapat dibiayai oleh pemerintah ini sangat
sedikit jumlahnya, hanya yang betul-betul mampu yang sanggup mengirim anak
Eropa. Tetapi sejak tahun 1910-an mulai berkembang dibeberapa tempat sistem
studiefonds atau dana-dana siswa, yang anggotanya terdiri dari orang-orang sekerja
dan sekampung. Studiefonds ini jugaberusaha mengirim anak-anak yang berbakat ke
Eropa. Pada tahun 1911 di sebuah desa di kota Gedang, Sumatra Barat telah
mengirimkan dua orang calon guru ke negeri Belanda. Cara lain untuk dapat
belajar ke Eropa ialah dengan biaya sendiri.
Sejak
tahun ajaran 1924/1925 sampai dengan 1939/1940 rata-rata jumlah mahasiswa
pribumi yang memasuki perguruan tinggi di negeri Belanda ialah sebanyak 21-22
setiap, sedangkan dari golongan cina antara 22 dan 23 orang. Selama priode lima
belas tahun jumlah keseluruhan mahasiswa indonesia yang mendapat kesempatan
untuk belajar di negeri Belanda ialah sebanyak 344 orang sedangkan dari
golongan cina sebanyak 136 orang. Sebagian besar mahasiswa indonesia yang
berada di negeri Belanda belajar di Universitas Leiden, yang merupakan salah
satu pusat ilmu tertua di Eropa dan juga merupakan pusat intelektual dan
politik kolonial etis. Jumlah mahasiswa yang belajar di Universitas Leiden
ialah sebanyak 199 orang. Mereka memasuki berbagai fakultas, seperti
kedokteran, hukum dan sastra. Selain itu mahasiswa indonesia juga belajar di
Universitas Kotapraja Amsterdam sebanyak 50 orang dan Universitas Utrecht yang
merupakan pusat perumus kebijaksanaan politik kolonial, sebanyak 34 orang. Di
samping itu, sekolah tinggi teknik di Delfp, sekolah tinggi pertanian di
Wageningen dan sekolah tinggi ekonomi di Rotterdam juga dikunjungi oleh
mahasiswa Indonesia. Ketiga tempat tersebut masing-masing menerima mahasiswa Idonesia
sebanyak 25. 23, dan 13 orang.
Tidak
dapat diketahui dengan pasti berapa orang akhirnya yang dapat menyelesaikan
pelajaran dari generasi sebelum perang ini. Pada waktu perang dunia kedua
meletus dan Belanda diduduki Jerman sebagian dari mahasiswa Indonesia juga ikut
menjadi barisan bawah tanah, yang menyebabkan studi mereka terkatung-katung. Namun,
peran negeri Belanda akan lebih terasa jika diingat bahwa beberapa putra
Indonesia juga berhasil mendapatkan titel kesarjanaan yang tertinggi disana.
Tahun 1913 seorang pemuda Banten dari keluarga Djajadiningrat, menghasilkan disertai
yang sampai sekarang di anggap sebagai salah satu karya puncak dalam studi
filologi Indonesia, ia adalah Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat.
Ada
juga mahasiswa indonesia yang belajar di Kairo, Al-Azhar merupakan pusat
pengetahuan islam yang tertua di dunia, Darul-Ulum, Universitas modern yang
pertama di Mesir. Pada awal abad ke-20 mahasiswa indonesia mulai mengalihkan
perhatiannya kekairo secara berangsur-angsur. Di tahun 1920-an dan
awaltahun1930-an diperkirakan ada 350 orang mahasiswa dalam”jawah”, berada di
sana. “Jawah” Berarti kelompok pendatang yang berasal dari indonesia dan
semenanjung melayu. Mahasiswa indonesia di Kairo, terutama yang berasal sumatra ,
terlibat dalam pergerakan kebangsaan. Mereka mulai terpengaruh oleh cita-cita
nasionalisme yang disebarkan di Mesir. Di beberapa daerah, terutama di Sumatra
Barat, kaum terpelajar yang pernah belajr di Kairo berhasil mengalahkan
keunggulan ulama dalam pergerakan massa dan memperkecil peran yang dapat di
mainkan oleh kaum terpelajar didikan Barat. Mereka baik sebagai tokoh politik
pergerakan maupun sebagai pendidik berhasil memperluas pengaruh di kalangan
rakyat. Jalan yang terpenting bagi penyebaran pengaruh ini ialah jaringan
sekolah, yang didirikan oleh perkumpulan mereka. Sekolah swasta, yang
menekankan pendidikan agama yang ,merupakan pemecahan bagi kekurangan dari
jumlah yang tersedia dan memberikan pilihan baru dalam dunia pendidikan.
2.3
Sekolah
Swasta Yang Tidak Bersubsidi
Sekolah
dalam pengertian yang umum sebenarnya tidaklah begitu asing dalam tradisi tanah
air kita. Pesantren, madrasah dan berbagai sekolah agama sudah lama di kenal.
Pesantren dan madrasah merupakan jenis sekolah yang coraknya bertolak belakang dengan
sekolah yang diperkenalkan pemerintah, baik dari sudut pengajaran maupun cara
pendidikannya. Sekolah umum swasta pada dasarnya dapat dibedakan antara yang
mengikuti corak dan sifat sekolah pemerintah dan bersubsidi serta yang dengan
sadar mencari sifat lain. Taman siswa adalah usaha untuk memberi dasar ideologi
bagi sekolah dan sekolah umum yang didirikan oleh perkumpulan agama, seperti
Muhammadiyah yang mengikutsertakan pengajaran dan pendidikan agama untuk anak
didik mereka.
Disamping
itu, ada juga sekolah swasta yang memperkenalkan corak pendidikan baru seperti
INS(Indonesisch Nederlandsche School) Kuyu tanam yang terkenal. Hampir tanpa
kecuali dapat dikatakan bahwa sekolah swasta umumnya bersifat nasionalistis
yang antikolonial. Sekolah didirikan oleh perkumpulan dan tokoh pergerakan yang
mengutamakan jalan pendidikan dalam pergerakan mereka. Oleh sebab itu, banyak
didirikanya berbagai kursus bebas mulai dari kursus memberantas buta huruf,
mengetik dan kursus politik. Tidak mengerankan bahwa pemerintah Belanda
menamakan mereka sebagai wilde scholen atau sekolah liar. Liar dalam arti
sifatnya bercorak anti kolonial dan juga karna sekolah-sekolah sering mengalami
masa pasang naik dan pasang surut. Sekolah yang merupakan cabang tersebut
umumnya didirikan oleh penduduk setempat kemudian mengikatkan diri dengan
organisasi besar. Jadi dalam banyak hal, terutama yang menyangkut soal
keuangan, tersedianya guru-guru dan jumlah murid, sekolah-sekolah sangat
tergantung pada keadaan setempat. Selagi organisasi atau perseorangan pengambil
inisiatif dari pendirian sekolah tersebut masih aktif dan dapat dipercaya
masyrakat maka sekolah tersebut dapat maju. Akan tetapi penguasa setempat mulai
bertindak, semangat para pendukung mulai luntur dan keadaan ekonomi mulai
merosot mengakibatkan sekolah tersebut harus gulung tikar.
Berdasarkan
perhitungan Inspektur Pedidikan pada tahun 1937/1938 terdapat sekolah swasta
yang tergolong liar sebanyak 1.691 (tidak termasuk sekolah-sekolah Taman
Siswa). Secara formal, sekolah-sekolah yang dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantara
dapat tergolong liar dalam arti tidak dapat subsidi, tetapi mendapatkan
pengargaan dari sudut mutu. Di sekitar tahun 1930-an jumlah sekolah yang
tergabung dalam taman siswa ialah sebanyak 99 buah, dengan perincian sebagai
berikut: HIS Sebanyak 45 buah, MULO 46 buah, AMS 7 buah, Kweekschool 1 buah.
Sekolah
swasta umumnya murah dan siapapun dapat memasukinya tanpa memperhitungkan
kedudukan ataupun kekayaan. Jadi terlepas dari mutu yang kadang-kadang begitu
baik, sekolah swasta mempercepat proses demokratisasi pendidikan dan juga
memberikan kemungkinan lain dalam sistem dan corak pendidikan. Oleh karena itu,
sekolah-sekolah swasta yang didirikan dan diselenggarakan oleh pribumi,
mendidik calon-calon nasionalis.
2.4
Latar
Belakang Sosial Dari Murid-Murid Sekolah Pemerintah
Untuk
menentukan status seseorang dalam masyarakat kolonial, pemerintah Belanda
berpegangan pada penghasilan diatas f.1.200 per-tahun yang dianggap sebagai
golongan yang mempunyai status yang cukup tinggi. Dalam dunia kepegawaian ini
artinya berlaku bagi pangkat asisten wedana ke atas. Berdasarkan ketentuan
pemerintah (Stbld. 1914 No. 359) ada 4 dasar penilaian yang memungkinkan orang
tua mengirimkan anak-anak mereka ke HIS, yaitu keturunan, jabatan, kekayaan, atau
pendidikan. Jadi, seorang keturunan bangsawan tradisional mempunyai hak untuk
memasuki HIS demikian juga seorang yang punya jabatan dalam pemerintahan,
seperti: wedana, demang dan sebagainya. Berdasarkan dari variabel lain, yang
memakai status bukan jabatan sebagai ukuran, komisi HIS baik kepunyaan pemerintah
maupun swasta yang bersubsidi berasal dari kategori C,seperti: pegawai,
pengusaha kecil, meliter, petani, nelayan dan orang tua yang pernah mendapat
pendidikan HIS yaitu masing-masing 63,57% pada sekolah pemerintah dan 75,30
pada sekolah swasta. Yang dapat dianggap kelas atas ialah kategori A dan B.
Dalam kategori A termasuk kaum bangsawan dan pejabat tinggi serta swasta yang
kaya, yang berpenghasilan bersih lebih dari 75 gulden sebulan. Mereka merupakan
orang tua dari 34,93% dari jumlah murid HIS pemerintah dan 23,79% dari murid
swasta. Yang termasuk kategori B ialah orang tua yang tamatan sekolah MULO dan
Kweekschool ke atas. Anak-anak dari golongan Ini merupakan 1,50% dari murid HIS pemerintah
dan 0,91% dari kelas swasta.
Berdasarkan
catatan ini nyatalah bahwa HIS sejak semula telah membuka pintu bagi terjadinya
semacam mobilitas sosial. Terlepas dari ketentuan pemerintah, HIS ternyatah
membuka kesempatan bagi golongan swasta dan bagi golongan yang berpenghasilan
rendah. Kecenderungan ini lebih kentara pada perbandingan latar belakang
Sekolah Schakel, sekolah yang merupakan perantara antara sistem bumiputra dan
sistem Belanda, yaitu lebih dari 92% murid-murid Schakel berasal dari orang tua
yang tidak berpenghasilan tinggi karena anak-anak dari golongan ini banyak
memasuki lebih dahulu sistem pendidikan bumiputra yang bermula dengan
volksschool. Demikian pula tidaklah mengherankan bahwa sebagian besar murid ELS
yang diperuntukan untuk golongan Eropa berasal dari kalangan atas.
Gambaran
latar belakang sosial murid-murid yang berkesempatan memasuki sekolah sistem
Belanda kelihatan bahwa bagi golongan yang tidak begitu berada dan berpangkat
juga terbuka kesempatan untuk memasuki sistem Belanda. Besarnya kesempatan ini
jika di bandingkan antara jumlah yang bersekolah dengan yang tidak, karena
kelangkaan kesempatan inilah sekolah merupakan daya tarik yang kuat dan di
anggap sebagai jalan terdekat untuk mendidik anak menjadi orang berpangkat.
2.5
Sekolah,
Kesempatan Kerja dan Mobilitas Sosial
Jasa
pertama dari pengajaran sistem Barat ialah memperkuat dasar legitimasi atau
kesahan bagi penguasa bumiputra. Dengan pengajaran Barat mereka lebih merasa
percaya diri sebab pada diri mererka
telah bekumpul dua sumber kesahan, yaitu keturunan yang mempunyai tarikan tradisional
dan pengajaran Barat yang memungkinkanya untuk menjadi perantara dengan
penguasa asing. Oleh karena itu, tuntutan bagi pengajaran Barat sangat keras
bergema di kalangan mereka. Tuntutan ini lebih keras karena di mulainya
pelebaran kelas pegawai oleh pemerintah kolonial sekitar awal abab ke-20. Hal
ini langsung mengancam kedudukan keluarga pegawai lama yang hanya harus
bertompang pada kebanggaan keturunan. Keadaan makin lama makin berubah, dengan
makin banyaknya sekolah makin keras pula keharusan untuk mendapatkan pekerjaan
dan kenaikan pangkat.
Dari
latar belakang sosial murid-murid HIS, sekolah yang membuka pintu bagi
kelanjutan pendidikan dapat diduga bahwa banyak juga diantara pejabat yang
mendapat kedudukan karena keahlian yang dimilikinya tersebut berasal dari
golongan bawah. Sekolah dalam hal ini telah memulai semacam pelebaran mobilitas
sosial dan dengan pengaru yang lebih terbatas. Kecenderungan terbukanya jalan
yang lebih lebar bagi mobilitas sosial terdapat pula dalam dunia kepegawaian. Anak-anak
pegawai rendah, karena pendidikan mereka peroleh, mempunyai kesempatan untuk
melampaui tingkat yang pernah dicapai oleh orang tua mereka. Pada tahun
1928/1929 di kota-kota dari seluruh tenaga yang mendapat didikan Barat, maka
80,5% adalah orang gajian dan 2,5% yang
bekerja sebagai bawahan dari majikan indonesia. Kecilnya sumbangan sekolah
Barat bagi pengembangan tenaga yang terlepas yaitu hanya dua persen dari kaum
terpelajar Barat tersebut berkerja sendiri dan 15% tidak mempunyai pekerjaan
tetap.
Sekolah
telah membuka pintu sistem kolonial bagi anak negeri dan dalam mengadakan
sekadar tranformasi dalam tubuh birokrasi serta membuka kesempatan bagi lapisan
bawah untuk menembus lapisan atas. Begitulah dalam sistem pengakatan pegawai atau
promosi, ras dari pemerintah yang berkuasa menjadi ukuran yang mutlak.
Akibatnya, terjadilah situasi
dimana
tenga-tenaga terdidik indonesia yang juga berpengalaman tidak dapat mendapat
tempat atau jika ada tempat tersebut, menemukan dirinya dinilai dibawah
kemampuan yang sesungguhnya. Pada tahun 1928/1929 diperkirakan 25% dari tenaga terdidik indonesia berada dalam
keadaan demikian. Menyadari keadaan inilah HIS menasihatkan pemerintah untuk
menghentikan perluasan jaringan pengajaran kerena tempo dari perluasan melebihi
dari perkembangan sosial dalam situasi kolonial. Perluasan jaringan pengajaran memang
berhenti atau sangat diperlambat tetapi kemampuan pemerintah untuk menampung
tenaga-tenaga terlatih tersebut baik karena alasan ras, ekonomi maupun politik
tetap sangat terbatas. Di saat makin memuncaknya gerakan kebangsaan pada tahun
1930-an, hal itu memperlihatkan berkembangnya sekolah-sekolah swasta,
usaha-usaha penerbitan, koperasi dan sebagainya. Peleburan dari sifat sekolah
“Belanda” sekailigus memupuk semangat kebangsaan dan meritis kearah
terbentuknya corak lain yang bukan kolonial dari masyarakat.
Sementara
itu, tamatan sekolah swasta baik yang bercorak sekuler dan agama makin
menemukan diri mereka berhampiran dengan kaum terpelajar bebas ini. Walaupun
tradisi pendidikan mereka berbeda-beda jika di bandingkan dengan keluaran
sekolah agama, mereka menghadapi situasi dan kemungkinan sosial yang hampir
sama. Keduanya mendapatkan tempat terlepas dari klaim politik atau kekuasaan. Keunggulan,
bukannya kekuasaan yang menjadi sandaran mereka. Yang satu, golongan terpelajar
Barat, tersingkir atau menyingkarkan diri sistem kolonial sedangkan yang lain, terutama
terpelajar yang berasaskan agama, tidak punya hak dan kesempatan memimpin untuk
menjadi bagian dari sistem. Persaingan dan pergolakan serta pesekutuan, yang
saling berganti anatara kelompok- kelompok birokrat, terpelajar Barat dan
terpelajar agama merupakan salah satu aspek yang penting dalam pembentukan
bangsa.
Membicarakan
pelebaran jaringan sekolah berarti melibatkan diri dalam persoalan situasi
kolonial sebagai keseluruhan. Sekolah bukan saja harus dilihat sebagai kearah
pembaruan masyarakat, peningkatan kecerdasan dan sebagai alat bagi terbukanya
mobilitas sosial, melainkan juga juga tidak kurang pentingnya sebagai
penjelmaan yang subjektif dari politik kolonial. Politik kolonial yang terkait
erat dengan segala latar belakang filosofis dan dasar etis yang bersifat
rasionalisasi “beban orang kulit putih” dan prasangka rasial. Karena itulah
hasil yang dapat dicapai oleh sekolah yang didirikan dan diperkenalkan oleh
pemerintah kolonial serba terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar