Jumat, 28 Maret 2014

Makalah Sistem Politik Jawa Tengah



BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM  POLITIK  JAWA (TENGAH)
A.Wilayah
Ø  Pada abad ke 16 di Jawa terdapat beberapa negara yang berbentuk kerajaan antara lain Majapahit, Demak, Pajang, Banten, Cirebon, dan Mataram-Islam. Agama Islam berkembang secara berangsur-angsur, mulai dari kalangan rakyat biasa didaerah pesisir pantai Jawa, kemudian ke pedalaman di kalangan Raja dan para Bangsawan.
Ø  Pada masa kekuasaan Indonesia-Hindu, negara Majapahit memegang peranan yang penting di Jawa. Pusat negara Majapahit terletak di daerah Jawa Timur. Tetapi kemudian pada masa transisi kekuasaan Indonesia Hindu ke kekuasaan Indonesia-Islam, pusat kekuasaan beralih dari Jawa Timur ke Jawa Tengah, mula-mula di pesisir Utara, yaitu Demak, tetapi kemudian bergeser lebih jauh lagi kepedalaman, yaitu Pajang dan akhirnya di pasar Gede, Mataram.
Ø  Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) negara Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya karena kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian dari Jawa Barat.
Ø  Pada akhir abad ke-17 seluruh wilayah kekuasaan Mataram dibagi menjadi beberapa bagian :
1.      Wilayah Istana (kraton) raja merupakan pusat negara dan terletak di ibukota negara, yang disebut wilayah kutanegara atau sering di singkat menjadi kutagara.
2.      Wilayah yang mengitari kutagara yang disebut wilayah Negara Agung. Menurut Serat Pustaka Raja Puwara wilayah Negara Agung dibagi menjadi empat bagian, yaitu :
1.      Daerah Kedu.
Pada zaman Sultan Agung, daerah Kedu di bagi menjadi dua bagian :
a.       Daerah Siti Bumi yang terletak di sebelah Barat Sungai Progo.
b.      Daerah Bumijo yang terletak di sebelah Timur Sungai Progo.
2.      Daerah Siti Ageng (Bumi Gede), yang terletak di antara Pajang dan Demak dibagi menjadi dua bagian :
a.       Daerah Siti Ageng Kiwa.
b.      Daerah Siti Ageng Tengen.
3.      Daerah Bagelen dibagi menjadi dua bagian :
a.       Daerah Sewu yang terletak di antara Sungai Bogowonto dan Sungai Donan di Cilacap.
b.      Daerah Numbak  Anyar yang terletak di antara Sungai Bogowonto dan Sungai Progo.
4.      Daerah Pajang dibagi menjadi dua bagian :
a.       Daerah Panumpin meliputi daerah Sukowati.
b.      Daerah Panekar yaitu daerah Pajang sendiri.
3.      Wilayah yang berada di luar Negara Agung, tetapi tidak termasuk daerah pantai disebut wilayah Mancanegara. Wilayah Mancanegara ini dibagi menjadi dua bagian :
a.       Mancanegara Wetan untuk yang sebelah Timur.
b.      Mancanegara Kilen untuk yang sebelah Barat.
4.      Wilayah kerajaan yang terletak di sepanjang pantai Utara disebut wilayah Pasisir. Wilayah Pasisir ini di bagi menjadi dua bagian :
a.       Daerah Pasisiran Wetan.
b.      Daerah Pasisiran Kilen.
Ø  Pada awal abad ke 18 pembagian wilayah mengalami perubahan dengan adanya pengaruh kekuasaan VOC setelah perang Trunojoyo berakhir tahun 1678. Mataram harus melepaskan Karawang, sebagian dari daerah Pariangan dan Semarang. Setelah perlawanan Untung Surapati dipadamkan sekitar tahun 1705, daerah Cirebon yang juga mengakui kekuasaan Mataram, juga merupakan sisa dari Priangan dan separuh bagian Timur Pulau Madura dianeksasi oleh Belanda. Setelah perang Cina berakhir pada tahun 1743, seluruh daerah pantai Utara Jawa dan seluruh pulau Madura sudah di kuasai Belanda. Wilayah negara makin menyempit dan berakhirnya  perang Gianti pada tahun 1755, yakni Mataram terpecah menjadi 2 bagian yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Dalam tahun 1758 dan 1813 wilayah terpecah lagi dan munculnya kekuasaan Mangkunegara dan Pakualam.
Ø  Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Deandels (1808-1811), pertama kali terjadi perubahan kekuasaan pada negara-negara  di Jawa, yaitu dengan adanya peraturan baru mengenai upacara penerimaan Residen di Istana Surakarta dan Yogyakarta. Di Istana Surakarta , peraturan Deandels tersebut diterima sedangkan di Yogyakarta di tentang oleh Sultan Hamengku Buwono II (Sultan Sepuh). Pada tahun 1810 Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun dari tahtanya dengan ekspedisi militer yang dipimpin oleh Daendels. Sebagai penggantinya di angkat putra mahkotanya menjadi Raja dengan gelar Hamengku Buwono III (Sultan Rojo), yang menyebabkan Surakarta dan Yogyakarta kehilangan sebagian dari wilayahnya. Pada tahun 1812 Inggris merebut Jawa dari tangan Pemerintah Belanda, Surakarta dan Yogyakarta ingin memulihkan kekuasaannya kembali seperti semula tetapi kenyataannya kedua negara tersebut makin berkurang. Di yogjakarta sultan sepuh naik tahta lagi dan berhasil menggerakan sunan surakarta untuk bersama-sama menentang inggris peristiwa ini berhasil memaksa sunan dan suktan menandatangani perjanjian baru ,pada taggal 1 agustus 1812 yang antara lain berisi bahwa kedu ,sebagian dari semarang ,rembang dan surabaya diserahkan pada pemerintah inggris. Selain itu sultan harus menyerahkan sebagian dari wilayah dan kekuasaan pada Pangeran Notokusumo. Pada tahun 1813 di angkat oleh pemerintah Inggris menjadi Pangeran Mangkunegara.
Ø  Ketika pulau Jawa dikembalikan lagi pada pemerintahan Belanda, Raja-Raja di Jawa berharap dapat memulihkan kekuasaannya, tetapi gagal karena ternyata pemerintahan Belanda memperbaharui semua keputusan Pemerintahan Inggri yang menyebabkan Yogyakarta dan Surakarta menentang pemerintah Belanda. Di Yogyakarta permusuhan menjadi besar dan meluas karena pengurangan wilayah dan kekuasaan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda semakin bertambah, sehingga akhirnya meletus menjadi Perang Diponegoro (Perang Jawa) tahun 1825. Setelah perang diponogoro selesai dalam tahun 1830, baik yogjakarta maupun surakarta wilayah kekuasaan nya menjadi makin sempit dan makin tergantung pada permerintahan Hindia Belanda. Kedua negara ini kehilangan kekuasaannya atas daerah Mancanegara, sehingga wilayah kekuasaannya tinggal pada daerah Pajang, Mataram, Sukowati, dan Gunung Kidul. Selanjutnya untuk mempertegas batas-batas negara yogjakarta dan surakarta, pada tanggal 27 september 1830, diadakan persetujuan dengan belanda yang isinya menentukan bahwa sunan surakarta menguasai pajang dan sukowati , sedangkan sultan yogjakarta memerintah daerah mataram dan gunung kidul.   Jadi jelas bahwa wilayah kekuasaan Yogya dan Surakarta di Jawa berkurang dan selanjutnya banyak bergantung pada pemerintah Hindia-Belanda.
B. Raja Dan Bangsawan
1.      Sistem Pengangkatan Raja
Ø  Raja mempunyai kekuasaan sentral dalam wilayah negaranya, pengangkatan raja didasarkan pada keturunan atau hak waris menurut tradisi. Pada masa di dirikannya negara oleh Panembahan Senopati pada tahun 1575, otoritas Raja lebih banyak di dasarkan pada kharisma dan kelebihan kemampuan pribadinya, maka pada masa-masa kemudian otoritas Raja telah dilembagakan menjadi tradisi.
Ø  Menurut tradisi Istana, sebagai pengganti Raja ditetapkan putra laki-laki tertua atau satu-satunya putra laki-laki dari Raja dengan Permaisuri (Garwa Padmi). Apabila permaisuri tidak mempunyai putra laki-laki, maka putra laki-laki tertua dari selir (Garwa Ampeyan) dapat di angkat sebagai pengganti Raja. Apabila kedua-keduanya tidak ada, dapat di angkat saudara laki-laki dari Raja, Paman atau saudara tua dari Ayah Raja sebagai pengganti.
Ø  Raja dipandang sebagai pusat kosmos dan dari raja terpancar kekuatan yang berpengaruh pada alam maupun masyarakat. Dalam masyarakat Jawa beranggapan bahwa orang yang masih mempunyai darah  rajalah yang dapat menjadi raja. Meskipun seorang Humo Novus sebagai pendiri suatu kerajaan secara lahiriah hanya anak orang tingkat bawahan, namun orang tersebut di anggap tentulah masih keturunan darah dari Raja-Raja masa lampau. Dalam hubungan ini anggapan tentang lahirnya seorang putra Raja dengan Wanita  dari kalangan rakyat biasa, seperti di ketemukan dalam cerita Babad atau cerita pewayangan.
Ø  Fakta lain mengenai pengangkatan orang yang berjasa pada raja dengan pemberian gelar dan nama tertentu terdapat juga pada masa perang melawan Inggris di Yogyakarta pada tahun 1812. Karena jasa seorang kapten Cina bernama Tan Jin Sing pada Sultan di nilai cukup  pada masa itu, maka pada tahun 1813 Sultan telah mengangkat menjadi Raden Tumenggung Secodiningrat.
2.      Pemakaian Gelar
Raja –raja mataram memakai gelar Panembahan, Susuhunan, (Sunan) atau Sultan.
Ø  Pemakaian gelar Sayidin Panatagama seperti pada gelar yang dipakai oleh Susuhunan, Raja-Raja Surakarta, demikian pula dengan Sultan, Raja-Raja Yogyakarta, menunjukkan bahwa Raja-Raja tersebut di anggap sebagai pemuka Agama.
Ø  Penggunaan gelar Khalifatullah seperti pada gelar Sultan Yogyakarta menunjukkan pula unsur keagamaan dari kedudukan Raja. Dengan tidak mengurangi peranan Agama Islam yang kuat dalam kehidupan Istana, nampak pula bahwa pandangan terhadap kedudukan Raja Mataram masih dilekati oleh unsur-unsur kepercayaan Pra-Islam.
Ø  Penggelaran benda-benda keramat dengan sebutan Kyai seperti  Kyai Plered (Tombak), Kyai Sengkelat (Keris), Kyai Tunggul Wulung (Bendera), Kyai Guntur Madu dan Nagawilaga (Gamelan Perayaan Sekaten di Yogyakarta), untuk menunjukkan unsur dinamisme yang mempersonifikasikan kekuatan dalam benda.
Ø  Para wedana lebet  biasanya memakai gelar Tumenggung atau Pangeran, bila pejabat tersebut masih keturunan Raja. Masing-masing wedana Lebet tersebut di bantu oleh seorang Kliwon, sering juga di sebut Papatih (Lurah Carik) yang biasanya memakai gelar ngabehi, kemudian seorang kebayan, yang memakai gelar ngabehi.
3.      Kebudayaan
Ø  Tradisi upacara labuhan disertai sajian-sajian di pantai laut Selatan, seperti dilakukan oleh kesultanan Yogyakarta, menunjukkan masih dipeliharanya hubungan antara kerajaan manusiawi dengan kerajaan roh halus (lelembut) tersebut. Anggapan adanya hubungan akrab tersebut diperkuat dengan penciptaan tarian Bedaya Ketawang yang menggambarkan pertemuan antara Raja-Raja Mataram dengan tokoh Mitis tersebut.
Ø  Tradisi Upacara Grebeg yang di jatuhkan pada hari-hari besar Islam menunjukkan adanya Synkretisme antara agama Islam dengan kepercayaan Pra-Islam, seperti Hinduisme, Animisme, dan Dinamisme di lingkungan kraton. Bupati-Bupati daerah harus hadir menghadap Raja pada hari-hari upacara Grebeg. Upacara Grebeg adalah salah satu cara untuk mengetahui loyalitas mereka. Tidak hadir dalam upacara Grebeg tanpa alasan yang jelas  akan menimbulkan kecurigaan pada diri Raja.
C. Birokrasi
            Kedudukan raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang terpisah dari pejabat-pejabat birokrasi dibawahnya dalam Pemerintahan dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.      Pemerintahan Dalam Istana (Peprintahan Lebet).
2.      Pemerintahan Luar Istana (Peprintahan Jawi).
Ø  Pemerintahan Dalam Istana (Peprintahan Lebet) di bebankan pada empat orang Wedana Dalam (Wedana Lebet), yaitu :
1.      Wedana Gedong Kiwa.
2.      Wedana Gedong Tengen.
3.      Wedana Gedong Keparak Kiwa.
4.      Wedana Gedong Keparak Tengen.
Sebelum tahun 1744, di atas keempat jabatan wedana ini terdapat jabatan Patih Dalam (Patih Lebet) yang bertugas mengkoordinasi tugas wedana-wedana tersebut. Namun pada tahun 1755 jabatan Patih Lebet tersebut di hapuskan. Para Wedana Gedong di tugaskan untuk mengurus keuangan dan pembendaharaan istana, sedangkan Para Wedana Keparak bertugas mengurus keprajuritan dan pengadilan. Para wedana lebet ini biasanya memakai gelar Tumenggung atau Pangeran, bila pejabat tersebut masih keturunan Raja. Masing-masing wedana Lebet tersebut di bantu oleh seorang Kliwon, sering juga di sebut Papatih (Lurah Carik) yang biasanya memakai gelar ngabehi, kemudian seorang kebayan, yang memakai gelar ngabehi, Rangga atau Raden, dan 40 orang Mantri Jajar. Untuk mengurusi pemerintahan di Kutagara Raja mengangkat dua orang Tumenggung. Pada Jaman Kartasura sekitar tahun 1744 pengurusan daerah Kutagara ditugaskan pada empat orang pejabat, seorang di ntaranya seorang di antaranya di angkat menjadi kepala (wedana).
Ø  Wilayah Negara Agung termasuk daerah pusat Kerajaan di bagi menjadi 8 bagian yang masing-masing di kepalai oleh seorang Wedana Luar (Wedana Jawi), yaitu :
1.      Wedana Bumi.
2.      Wedana Bumija.
3.      Wedana Sewu.
4.      Wedana Numbak Anyar.
5.      Wedana Siti Ageng Kiwa.
6.      Wedana Siti Ageng Tengen.
7.      Wedana Panumping.
8.      Wedana Panekar.
Wedana-wedana Jawi ini masing-masing di bantu oleh seorang Kliwon, seorang Kebayan dan 40 orang Mantri Jajar. Patih Jawi bertugas tidak hanya menyangkut wilayah Negara Agung, tetapi juga wilayah-wilayah kerajaan yang ada di luarnya.
Ø  Daerah-daerah di wilayah Mancanegara Wetan dan Mancanegara Kilen masing-masing di kepalai oleh seorang Bupati yang bergelar Tumenggung (Raden Arya).
Ø  Wilayah Mancanegara Wetan maupun Mancanegara Kilen masing-masing dikepalai oleh seorang Wedana Bupati yang kedudukannya di atas semua Bupati Kepala Daerah.
1.      Wedana Bupati Mancanegara Wetan pada tahun 1677 yakni Mas Tumapel yang berkedudukan di Jipang.
2.      Wedana Bupati Mancanegara Kilen setelah perjanjian Gianti tahun 1755  yakni Raden Rangga Prawirodirjo III yang berkedudukann di Maopati, Madiun.
Tugas Wedana Bupati ini ialah mengawasi dan mengkoordinasi semua bupati bawahannya dan bertanggung jawab kepada Raja atas keberesan Pemerintahan daerah serta kelancaran pengumpulan penghasilan daerah yang harus diserahkan ke pusat.
Ø  Wilayah Pasisiran Wetan maupun Pasisiran Kilen masing-masing dikepalai oleh Wedana Bupati.
1.      Wilayah Pasisiran Wetan di kepalai oleh seorang Wedana Bupati yang berkedudukan di Jepara sekitar tahun 1664 yakni Tumenggung Martonoto.
2.      Wilayah Pasisiran Kilen di kepalai oleh seorang Wedana Bupati yang berkedudukan di Tegal pada masa Perang Trunojoyo sekitar tahun 1677 yakni Adipati Martoloyo.
Wedana Bupati Pasisiran bertugas mengawasi dan mengkoordinasi Bupati-Bupati Kepala Daerah yang ada di bawah jurisdiksinya.
Ø  Pada zaman Mataram Kartasura sekitar tahun 1744 terdapat Jabatan-Jabatan yang di beri tugas khusus untuk mengepalai golongan rakyat tertentu. Jabatan ini di pegang oleh empat orang Tumenggung, yaitu :
1.      Tumenggung yang mengepalai 6.000 orang Kalang.
2.      Tumenggung yang membawahkan 1.000 orang Gowong.
3.      Tumenggung yang mengepalai 1.200 orang Tuwaburu.
4.      Tumenggung yang mengepalai 1.400 orang Kadipaten.
Para Tumenggung ini di bantu oleh pejabat-pejabat bawahan, yaitu Serat Wadu Aji dan Serat Raja kapa-kapa yang memberikan uraian terperinci nama-nama pegawai (punggawa) Raja dalam kraton yang mempunyai tugas tertentu di pelbagai bidang pekerjaan:
1.      Di bidang keagamaan terdapat jabatan-jabatan pengulu, Katib, Modin, Naib, dan Suranata. Jabatan penting lain di dalam kraton ialah jabatan Pujangga yang bertugas menulis seluk-beluk yang berhubungan dengan Raja, Kraton maupun Negara.
2.      Di bidang Pengadilan dalam Istana terdapat Jabatan Jeksa datan pelaksana hukuman mati terdapat Jabatan Mertalulut dan Singanegara.
a.       Mertalulut bertugas melaksanakan hukuman mati dengan jerat tali, seperti hukuman gantung.
b.      Singanegara bertugas menghukum mati dengan senjata tajam, seperti menusuk dengan keris, tombak atau memenggal dengan pedang.
3.      Untuk mengurus penghasilan Raja dilakukan oleh pejabat Pemaosan dan Melandang.
a.       Pemaosan bertugas mengumpulkan pajak tanah.
b.      Melandang bertugas mengurusi pungutan hasil bumi yangt diserahkan ke kraton.
4.      Selanjutnya masih ada beberapa kelompok pekerja yang bertugas untuk membuat barang dan keperluan istana disebut dengan abdi dalem geding  kelompok pekerja yang mendapat tugas untuk membersihkan kompleks istana inti yang disebut dengan abdi dalem kemit-bumi, dan yang untuk membersihkan lingkungan luar kraton disebut dengan Gladag.
5.      Di bidang Kemiliteran menggunakan sitem tradisional seperti Senapati, Panji, Lurah, dan Bekel Prajurit. Setelah pengaruh Belanda masuk dalam lingkungan Istana gelar-gelar kepangkatan sitem kemiliteran berubah menjadi Kolonel, Letnan, Kolonel, Mayor, Kapten, Letnan dan seterusnya. Raja memiliki pasukan menjaga Istana. Prajurit ini merupakan prajurit profesional yang  mendapat gaji dan jaminan hidup dari Istana. Disamping memiliki prajurit profesional raja juga memliki  petugas mata-mata (telik sandi) untuk mengawasi tindakan para pejabat dalam kerajaan, mereka juga disebar kedaerah-daerah.
Pejabat-pejabat Birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupa gaji, tetapi sebagai pengganti jerih payah dari Raja mereka mendapat Gaduhan (Pemimnjaman Tanah), sebagai tanah Lungguh. Untuk menjaga hubungan yang baik dengan pemerintah daerah. Raja membutuhkan pejabat daerah yang loyalitas, dan menjadi syarat mutlak. Untuk itu raja membutuhkan seleksi dalam menentukan pejabat daerah yang dimaksudkan. Untuk menghindar kemungkinan timbulnya pemberontakan, para pengasa diperintahakan untuk  mengadap raja pada hari-hari tertentu. Grebeg adalah salah satu cara untuk mengetahui loyalitas penguasa daerah. Cara lain untuk mengecilkan pemberontakan ketika daerah mulai berkembang. Pemerintah daerah ini diminta untuk menikah dengan putri keraton. Cara lain masih juga dilakukan untuk mengecilkan kemungkinan terjadi pemberontakan yaitu dengan pemindah alihan tugas. Beragam acara dilakukan raja untuk menstabilkan hubungan antara pusat dan daerah. Segala tindakan dalam upaya menggoyahkan kedudukan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah akan mendapatkan hukuman dari raja. Untuk menjaga tatatertib diseluruh wilayah kerajaan, diciptakan peraturan-peraturan (angger-angger) yang harus ditaati oleh seluruh penduduk. Ketentuan dalam serat angger yang menyebutkan bahwa orang yang berpergian harus membawa surat keterangan (layang pandang). Dengan demikian nampak bahwa terdapatlah pertukaran jasa antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, meskipun sering kali nampak pula bahwa dalam pemerintahan seorang Raja tuntutan pada arus jasa ke pusat lebih besar daripada apa yang di berikan oleh raja kepada daerah.
D. Masyarakat
Secara garis besar masyarakat dalam negara Mataram terbagi dalam dua golongan, yaitu :
1.      Golongan Lapisan Atas yaitu Golongan Lapisan Orang Besar (Wong Gede, Priyayi Luhur ), sebagian golongan ini adalah golongan yang memerintah yaitu meliputi Raja beserta para Bangsawan keturunan Raja dan Pejabat-Pejabat tinggi kerajaan. Dari golongan keturunan darah Raja masih dibagi-bagi menurut derajat keturunan, yang masing-masing mempunyai status dan prestise (harkat) sendiri dalam masyarakat. Dalam masyarakat kerajaan , status priyai menjadi idaman setiap orang, karena status priyai di anggap lebih tinggi dan terhormat daripada golongan lainnya. Kecuali bangsawan keturunan dari Raja-Raja Mataram, di daerah-daerah terutama di daerah Pasisiran terdapat Bangsawan keturunan dari Dinasti sebelumnya.
2.      Golongan Lapisan Bawah adalah rakyat biasa (Wong Cilik, Kawula Alit). Lapisan bawah ini jumlahnya jauh lebih besar daripada lapisan Atas dan merupakan golongan yang di perintah. Pejabat-pejabat birokrasi di unit pemerintahan tingkat terbawah seperti di kelurahan termasuk lapisan wong cilik. Golongan ini meliputi golongan pedagang, petani, pekerja kerajinan, buruh dan budak.
Ø  Golongan pedagang dalam masyarakat kedudukannya di bawah pejabat-pejabat (abdi dalem-raja). Pedagang kaya berusaha mempunyai hubungan lebih erat dengan priyayi terutama melalui tali perkawinan.
Ø  Golongan petani pada masa pemerintahan negara Mataram merupakan jumlah yang terbesar dan merekalah yang menghasilkan produksi untuk kebutuhan bahan makanan seluruh penduduk.
Ø  Golongan pekerja kerajinan meliputi mereka yang berusaha dalam pembuatan barang-barang kesenian seperti ukiran-ukiran, perhiasan, pertenunan dan lain sebagainya.
Ø  Golongan buruh adalah mereka yang bekerja demi mendapatkan upah, di bandar-bandar sungai, demikian pula buruh penggarapan sawah.
Ø  Golongan budak ini jumlahnya terbatas, hidup mereka tergantung pada tuannya, baik akibat karena hutang-piutang ataupun bekas tawanan perang. Golongan ini juga disebut golongan yang dicela oleh masyarakat, seperti pembegal,pencuri, brandal dan sebagainya. Mereka kebanyakan hidup tidak menetap dalam suatu desa, tetapi berpindah-pindah. Adakalanya menetap secara ilegal dalam desa ataupun menetap dalam hutan-hutan atau gua-gua yang tidak jauh letaknya dari desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar