BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM
POLITIK JAWA (TENGAH)
A.Wilayah
Ø
Pada abad ke 16 di Jawa terdapat
beberapa negara yang berbentuk kerajaan antara lain Majapahit, Demak, Pajang,
Banten, Cirebon, dan Mataram-Islam. Agama Islam berkembang secara
berangsur-angsur, mulai dari kalangan rakyat biasa didaerah pesisir pantai
Jawa, kemudian ke pedalaman di kalangan Raja dan para Bangsawan.
Ø
Pada masa kekuasaan
Indonesia-Hindu, negara Majapahit memegang peranan yang penting di Jawa. Pusat
negara Majapahit terletak di daerah Jawa Timur. Tetapi kemudian pada masa
transisi kekuasaan Indonesia Hindu ke kekuasaan Indonesia-Islam, pusat
kekuasaan beralih dari Jawa Timur ke Jawa Tengah, mula-mula di pesisir Utara,
yaitu Demak, tetapi kemudian bergeser lebih jauh lagi kepedalaman, yaitu Pajang
dan akhirnya di pasar Gede, Mataram.
Ø
Pada masa pemerintahan Sultan
Agung (1613-1645) negara Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya karena
kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian dari Jawa Barat.
Ø
Pada akhir abad ke-17 seluruh
wilayah kekuasaan Mataram dibagi menjadi beberapa bagian :
1.
Wilayah Istana (kraton) raja
merupakan pusat negara dan terletak di ibukota negara, yang disebut wilayah kutanegara atau sering di singkat
menjadi kutagara.
2.
Wilayah yang mengitari kutagara yang disebut wilayah Negara Agung. Menurut Serat Pustaka Raja Puwara wilayah Negara Agung dibagi menjadi empat bagian, yaitu :
1.
Daerah Kedu.
Pada zaman Sultan Agung, daerah Kedu di bagi menjadi dua bagian :
a.
Daerah Siti Bumi yang terletak di
sebelah Barat Sungai Progo.
b.
Daerah Bumijo yang terletak di
sebelah Timur Sungai Progo.
2.
Daerah Siti Ageng (Bumi Gede), yang
terletak di antara Pajang dan Demak dibagi menjadi dua bagian :
a.
Daerah Siti Ageng Kiwa.
b.
Daerah Siti Ageng Tengen.
3.
Daerah Bagelen dibagi menjadi dua
bagian :
a.
Daerah Sewu yang terletak di
antara Sungai Bogowonto dan Sungai Donan di Cilacap.
b.
Daerah Numbak Anyar yang terletak di antara Sungai Bogowonto
dan Sungai Progo.
4.
Daerah Pajang dibagi menjadi dua
bagian :
a.
Daerah Panumpin meliputi daerah
Sukowati.
b.
Daerah Panekar yaitu daerah Pajang
sendiri.
3.
Wilayah yang berada di luar Negara
Agung, tetapi tidak termasuk daerah pantai disebut wilayah Mancanegara. Wilayah
Mancanegara ini dibagi menjadi dua bagian :
a.
Mancanegara Wetan untuk yang
sebelah Timur.
b.
Mancanegara Kilen untuk yang
sebelah Barat.
4.
Wilayah kerajaan yang terletak di
sepanjang pantai Utara disebut wilayah Pasisir. Wilayah Pasisir ini di bagi
menjadi dua bagian :
a.
Daerah Pasisiran Wetan.
b.
Daerah Pasisiran Kilen.
Ø
Pada awal abad ke 18 pembagian
wilayah mengalami perubahan dengan adanya pengaruh kekuasaan VOC setelah perang
Trunojoyo berakhir tahun 1678. Mataram harus melepaskan Karawang, sebagian dari
daerah Pariangan dan Semarang. Setelah perlawanan Untung Surapati dipadamkan
sekitar tahun 1705, daerah Cirebon yang juga mengakui kekuasaan Mataram, juga
merupakan sisa dari Priangan dan separuh bagian Timur Pulau Madura dianeksasi
oleh Belanda. Setelah perang Cina berakhir pada tahun 1743, seluruh daerah
pantai Utara Jawa dan seluruh pulau Madura sudah di kuasai Belanda. Wilayah
negara makin menyempit dan berakhirnya
perang Gianti pada tahun 1755, yakni Mataram terpecah menjadi 2 bagian
yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Dalam tahun 1758 dan 1813 wilayah terpecah lagi
dan munculnya kekuasaan Mangkunegara dan Pakualam.
Ø
Pada masa pemerintahan Gubernur
Jendral Deandels (1808-1811), pertama kali terjadi perubahan kekuasaan pada
negara-negara di Jawa, yaitu dengan
adanya peraturan baru mengenai upacara penerimaan Residen di Istana Surakarta
dan Yogyakarta. Di Istana Surakarta , peraturan Deandels tersebut diterima
sedangkan di Yogyakarta di tentang oleh Sultan Hamengku Buwono II (Sultan
Sepuh). Pada tahun 1810 Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun dari tahtanya
dengan ekspedisi militer yang dipimpin oleh Daendels. Sebagai penggantinya di
angkat putra mahkotanya menjadi Raja dengan gelar Hamengku Buwono III (Sultan
Rojo), yang menyebabkan Surakarta dan Yogyakarta kehilangan sebagian dari
wilayahnya. Pada tahun 1812 Inggris merebut Jawa dari tangan Pemerintah Belanda,
Surakarta dan Yogyakarta ingin memulihkan kekuasaannya kembali seperti semula
tetapi kenyataannya kedua negara tersebut makin berkurang. Di yogjakarta sultan
sepuh naik tahta lagi dan berhasil menggerakan sunan surakarta untuk
bersama-sama menentang inggris peristiwa ini berhasil memaksa sunan dan suktan
menandatangani perjanjian baru ,pada taggal 1 agustus 1812 yang antara lain
berisi bahwa kedu ,sebagian dari semarang ,rembang dan surabaya diserahkan pada
pemerintah inggris. Selain itu sultan harus menyerahkan sebagian dari wilayah
dan kekuasaan pada Pangeran Notokusumo. Pada tahun 1813 di angkat oleh
pemerintah Inggris menjadi Pangeran Mangkunegara.
Ø
Ketika pulau Jawa dikembalikan
lagi pada pemerintahan Belanda, Raja-Raja di Jawa berharap dapat memulihkan
kekuasaannya, tetapi gagal karena ternyata pemerintahan Belanda memperbaharui
semua keputusan Pemerintahan Inggri yang menyebabkan Yogyakarta dan Surakarta
menentang pemerintah Belanda. Di Yogyakarta permusuhan menjadi besar dan meluas
karena pengurangan wilayah dan kekuasaan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda
semakin bertambah, sehingga akhirnya meletus menjadi Perang Diponegoro (Perang
Jawa) tahun 1825. Setelah perang diponogoro selesai dalam tahun 1830, baik
yogjakarta maupun surakarta wilayah kekuasaan nya menjadi makin sempit dan
makin tergantung pada permerintahan Hindia Belanda. Kedua negara ini kehilangan
kekuasaannya atas daerah Mancanegara, sehingga wilayah kekuasaannya tinggal
pada daerah Pajang, Mataram, Sukowati, dan Gunung Kidul. Selanjutnya untuk
mempertegas batas-batas negara yogjakarta dan surakarta, pada tanggal 27
september 1830, diadakan persetujuan dengan belanda yang isinya menentukan
bahwa sunan surakarta menguasai pajang dan sukowati , sedangkan sultan
yogjakarta memerintah daerah mataram dan gunung kidul. Jadi jelas bahwa wilayah kekuasaan Yogya dan
Surakarta di Jawa berkurang dan selanjutnya banyak bergantung pada pemerintah
Hindia-Belanda.
B. Raja Dan Bangsawan
1.
Sistem Pengangkatan Raja
Ø
Raja mempunyai kekuasaan sentral
dalam wilayah negaranya, pengangkatan raja didasarkan pada keturunan atau hak
waris menurut tradisi. Pada masa di dirikannya negara oleh Panembahan Senopati
pada tahun 1575, otoritas Raja lebih banyak di dasarkan pada kharisma dan
kelebihan kemampuan pribadinya, maka pada masa-masa kemudian otoritas Raja telah
dilembagakan menjadi tradisi.
Ø
Menurut tradisi Istana, sebagai
pengganti Raja ditetapkan putra laki-laki tertua atau satu-satunya putra
laki-laki dari Raja dengan Permaisuri (Garwa Padmi). Apabila permaisuri tidak
mempunyai putra laki-laki, maka putra laki-laki tertua dari selir (Garwa
Ampeyan) dapat di angkat sebagai pengganti Raja. Apabila kedua-keduanya tidak
ada, dapat di angkat saudara laki-laki dari Raja, Paman atau saudara tua dari
Ayah Raja sebagai pengganti.
Ø
Raja dipandang sebagai pusat kosmos
dan dari raja terpancar kekuatan yang berpengaruh pada alam maupun masyarakat.
Dalam masyarakat Jawa beranggapan bahwa orang yang masih mempunyai darah rajalah yang dapat menjadi raja. Meskipun
seorang Humo Novus sebagai pendiri suatu kerajaan secara lahiriah hanya anak
orang tingkat bawahan, namun orang tersebut di anggap tentulah masih keturunan
darah dari Raja-Raja masa lampau. Dalam hubungan ini anggapan tentang lahirnya
seorang putra Raja dengan Wanita dari
kalangan rakyat biasa, seperti di ketemukan dalam cerita Babad atau cerita
pewayangan.
Ø
Fakta lain mengenai pengangkatan
orang yang berjasa pada raja dengan pemberian gelar dan nama tertentu terdapat
juga pada masa perang melawan Inggris di Yogyakarta pada tahun 1812. Karena
jasa seorang kapten Cina bernama Tan Jin Sing pada Sultan di nilai cukup pada masa itu, maka pada tahun 1813 Sultan
telah mengangkat menjadi Raden Tumenggung Secodiningrat.
2.
Pemakaian Gelar
Raja –raja mataram memakai gelar Panembahan, Susuhunan, (Sunan) atau
Sultan.
Ø
Pemakaian gelar Sayidin Panatagama
seperti pada gelar yang dipakai oleh Susuhunan, Raja-Raja Surakarta, demikian
pula dengan Sultan, Raja-Raja Yogyakarta, menunjukkan bahwa Raja-Raja tersebut
di anggap sebagai pemuka Agama.
Ø
Penggunaan gelar Khalifatullah
seperti pada gelar Sultan Yogyakarta menunjukkan pula unsur keagamaan dari
kedudukan Raja. Dengan tidak mengurangi peranan Agama Islam yang kuat dalam
kehidupan Istana, nampak pula bahwa pandangan terhadap kedudukan Raja Mataram
masih dilekati oleh unsur-unsur kepercayaan Pra-Islam.
Ø
Penggelaran benda-benda keramat
dengan sebutan Kyai seperti Kyai Plered
(Tombak), Kyai Sengkelat (Keris), Kyai Tunggul Wulung (Bendera), Kyai Guntur
Madu dan Nagawilaga (Gamelan Perayaan Sekaten di Yogyakarta), untuk menunjukkan
unsur dinamisme yang mempersonifikasikan kekuatan dalam benda.
Ø
Para wedana lebet biasanya memakai gelar Tumenggung atau
Pangeran, bila pejabat tersebut masih keturunan Raja. Masing-masing wedana
Lebet tersebut di bantu oleh seorang Kliwon, sering juga di sebut Papatih
(Lurah Carik) yang biasanya memakai gelar ngabehi, kemudian seorang kebayan,
yang memakai gelar ngabehi.
3.
Kebudayaan
Ø
Tradisi upacara labuhan disertai sajian-sajian di pantai
laut Selatan, seperti dilakukan oleh kesultanan Yogyakarta, menunjukkan masih
dipeliharanya hubungan antara kerajaan manusiawi dengan kerajaan roh halus
(lelembut) tersebut. Anggapan adanya hubungan akrab tersebut diperkuat dengan
penciptaan tarian Bedaya Ketawang yang menggambarkan pertemuan antara Raja-Raja
Mataram dengan tokoh Mitis tersebut.
Ø
Tradisi Upacara Grebeg yang di
jatuhkan pada hari-hari besar Islam menunjukkan adanya Synkretisme antara agama
Islam dengan kepercayaan Pra-Islam, seperti Hinduisme, Animisme, dan Dinamisme
di lingkungan kraton. Bupati-Bupati daerah harus hadir menghadap Raja pada
hari-hari upacara Grebeg. Upacara Grebeg adalah salah satu cara untuk
mengetahui loyalitas mereka. Tidak hadir dalam upacara Grebeg tanpa alasan yang
jelas akan menimbulkan kecurigaan pada
diri Raja.
C. Birokrasi
Kedudukan
raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang terpisah dari pejabat-pejabat
birokrasi dibawahnya dalam Pemerintahan dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.
Pemerintahan Dalam Istana
(Peprintahan Lebet).
2.
Pemerintahan Luar Istana
(Peprintahan Jawi).
Ø
Pemerintahan Dalam Istana
(Peprintahan Lebet) di bebankan pada empat orang Wedana Dalam (Wedana Lebet),
yaitu :
1.
Wedana Gedong Kiwa.
2.
Wedana Gedong Tengen.
3.
Wedana Gedong Keparak Kiwa.
4.
Wedana Gedong Keparak Tengen.
Sebelum tahun 1744, di atas keempat jabatan wedana ini terdapat jabatan
Patih Dalam (Patih Lebet) yang bertugas mengkoordinasi tugas wedana-wedana
tersebut. Namun pada tahun 1755 jabatan Patih Lebet tersebut di hapuskan. Para
Wedana Gedong di tugaskan untuk mengurus keuangan dan pembendaharaan istana, sedangkan
Para Wedana Keparak bertugas mengurus keprajuritan dan pengadilan. Para wedana
lebet ini biasanya memakai gelar Tumenggung atau Pangeran, bila pejabat
tersebut masih keturunan Raja. Masing-masing wedana Lebet tersebut di bantu
oleh seorang Kliwon, sering juga di sebut Papatih (Lurah Carik) yang biasanya
memakai gelar ngabehi, kemudian seorang kebayan, yang memakai gelar ngabehi,
Rangga atau Raden, dan 40 orang Mantri Jajar. Untuk mengurusi pemerintahan di
Kutagara Raja mengangkat dua orang Tumenggung. Pada Jaman Kartasura sekitar
tahun 1744 pengurusan daerah Kutagara ditugaskan pada empat orang pejabat,
seorang di ntaranya seorang di antaranya di angkat menjadi kepala (wedana).
Ø
Wilayah Negara Agung termasuk
daerah pusat Kerajaan di bagi menjadi 8 bagian yang masing-masing di kepalai
oleh seorang Wedana Luar (Wedana Jawi), yaitu :
1.
Wedana Bumi.
2.
Wedana Bumija.
3.
Wedana Sewu.
4.
Wedana Numbak Anyar.
5.
Wedana Siti Ageng Kiwa.
6.
Wedana Siti Ageng Tengen.
7.
Wedana Panumping.
8.
Wedana Panekar.
Wedana-wedana Jawi ini masing-masing di bantu oleh seorang Kliwon,
seorang Kebayan dan 40 orang Mantri Jajar. Patih Jawi bertugas tidak hanya
menyangkut wilayah Negara Agung, tetapi juga wilayah-wilayah kerajaan yang ada
di luarnya.
Ø
Daerah-daerah di wilayah
Mancanegara Wetan dan Mancanegara Kilen masing-masing di kepalai oleh seorang
Bupati yang bergelar Tumenggung (Raden Arya).
Ø
Wilayah Mancanegara Wetan maupun
Mancanegara Kilen masing-masing dikepalai oleh seorang Wedana Bupati yang
kedudukannya di atas semua Bupati Kepala Daerah.
1.
Wedana Bupati Mancanegara Wetan
pada tahun 1677 yakni Mas Tumapel yang berkedudukan di Jipang.
2.
Wedana Bupati Mancanegara Kilen
setelah perjanjian Gianti tahun 1755 yakni Raden Rangga Prawirodirjo III yang
berkedudukann di Maopati, Madiun.
Tugas Wedana Bupati ini ialah mengawasi dan mengkoordinasi semua bupati
bawahannya dan bertanggung jawab kepada Raja atas keberesan Pemerintahan daerah
serta kelancaran pengumpulan penghasilan daerah yang harus diserahkan ke pusat.
Ø
Wilayah Pasisiran Wetan maupun
Pasisiran Kilen masing-masing dikepalai oleh Wedana Bupati.
1.
Wilayah Pasisiran Wetan di kepalai
oleh seorang Wedana Bupati yang berkedudukan di Jepara sekitar tahun 1664 yakni
Tumenggung Martonoto.
2.
Wilayah Pasisiran Kilen di kepalai
oleh seorang Wedana Bupati yang berkedudukan di Tegal pada masa Perang
Trunojoyo sekitar tahun 1677 yakni Adipati Martoloyo.
Wedana Bupati Pasisiran bertugas mengawasi dan mengkoordinasi
Bupati-Bupati Kepala Daerah yang ada di bawah jurisdiksinya.
Ø
Pada zaman Mataram Kartasura
sekitar tahun 1744 terdapat Jabatan-Jabatan yang di beri tugas khusus untuk
mengepalai golongan rakyat tertentu. Jabatan ini di pegang oleh empat orang
Tumenggung, yaitu :
1.
Tumenggung yang mengepalai 6.000
orang Kalang.
2.
Tumenggung yang membawahkan 1.000 orang
Gowong.
3.
Tumenggung yang mengepalai 1.200
orang Tuwaburu.
4.
Tumenggung yang mengepalai 1.400
orang Kadipaten.
Para Tumenggung ini di bantu oleh pejabat-pejabat bawahan, yaitu Serat
Wadu Aji dan Serat Raja kapa-kapa yang memberikan uraian terperinci nama-nama
pegawai (punggawa) Raja dalam kraton yang mempunyai tugas tertentu di pelbagai
bidang pekerjaan:
1.
Di bidang keagamaan terdapat
jabatan-jabatan pengulu, Katib, Modin, Naib, dan Suranata. Jabatan penting lain
di dalam kraton ialah jabatan Pujangga yang bertugas menulis seluk-beluk yang berhubungan
dengan Raja, Kraton maupun Negara.
2.
Di bidang Pengadilan dalam Istana terdapat
Jabatan Jeksa datan pelaksana hukuman mati terdapat Jabatan Mertalulut dan
Singanegara.
a.
Mertalulut bertugas melaksanakan
hukuman mati dengan jerat tali, seperti hukuman gantung.
b.
Singanegara bertugas menghukum
mati dengan senjata tajam, seperti menusuk dengan keris, tombak atau memenggal
dengan pedang.
3.
Untuk mengurus penghasilan Raja
dilakukan oleh pejabat Pemaosan dan Melandang.
a.
Pemaosan bertugas mengumpulkan
pajak tanah.
b.
Melandang bertugas mengurusi
pungutan hasil bumi yangt diserahkan ke kraton.
4.
Selanjutnya masih ada beberapa
kelompok pekerja yang bertugas untuk membuat barang dan keperluan istana
disebut dengan abdi dalem geding kelompok pekerja yang mendapat tugas
untuk membersihkan kompleks istana inti yang disebut dengan abdi dalem
kemit-bumi, dan yang untuk membersihkan lingkungan luar kraton disebut dengan
Gladag.
5.
Di bidang Kemiliteran menggunakan
sitem tradisional seperti Senapati, Panji, Lurah, dan Bekel Prajurit. Setelah
pengaruh Belanda masuk dalam lingkungan Istana gelar-gelar kepangkatan sitem
kemiliteran berubah menjadi Kolonel, Letnan, Kolonel, Mayor, Kapten, Letnan dan
seterusnya. Raja memiliki pasukan menjaga Istana. Prajurit ini merupakan
prajurit profesional yang mendapat gaji dan jaminan hidup dari Istana.
Disamping memiliki prajurit profesional raja juga memliki petugas
mata-mata (telik sandi) untuk mengawasi tindakan para pejabat dalam kerajaan,
mereka juga disebar kedaerah-daerah.
Pejabat-pejabat Birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupa gaji, tetapi
sebagai pengganti jerih payah dari Raja mereka mendapat Gaduhan (Pemimnjaman
Tanah), sebagai tanah Lungguh. Untuk menjaga hubungan yang baik dengan
pemerintah daerah. Raja membutuhkan pejabat daerah yang loyalitas, dan menjadi
syarat mutlak. Untuk itu raja membutuhkan seleksi dalam menentukan pejabat
daerah yang dimaksudkan. Untuk menghindar kemungkinan timbulnya pemberontakan,
para pengasa diperintahakan untuk mengadap raja pada hari-hari tertentu.
Grebeg adalah salah satu cara untuk mengetahui loyalitas penguasa daerah. Cara
lain untuk mengecilkan pemberontakan ketika daerah mulai berkembang. Pemerintah
daerah ini diminta untuk menikah dengan putri keraton. Cara lain masih juga
dilakukan untuk mengecilkan kemungkinan terjadi pemberontakan yaitu dengan
pemindah alihan tugas. Beragam acara dilakukan raja untuk menstabilkan hubungan
antara pusat dan daerah. Segala tindakan dalam upaya menggoyahkan kedudukan
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah akan mendapatkan hukuman dari raja.
Untuk menjaga tatatertib diseluruh wilayah kerajaan, diciptakan
peraturan-peraturan (angger-angger) yang harus ditaati oleh seluruh penduduk.
Ketentuan dalam serat angger yang menyebutkan bahwa orang yang berpergian harus
membawa surat keterangan (layang pandang). Dengan demikian nampak bahwa
terdapatlah pertukaran jasa antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
meskipun sering kali nampak pula bahwa dalam pemerintahan seorang Raja tuntutan
pada arus jasa ke pusat lebih besar daripada apa yang di berikan oleh raja
kepada daerah.
D. Masyarakat
Secara garis besar masyarakat dalam negara Mataram terbagi dalam dua
golongan, yaitu :
1.
Golongan Lapisan Atas yaitu
Golongan Lapisan Orang Besar (Wong Gede, Priyayi Luhur ), sebagian golongan ini
adalah golongan yang memerintah yaitu meliputi Raja beserta para Bangsawan
keturunan Raja dan Pejabat-Pejabat tinggi kerajaan. Dari golongan keturunan
darah Raja masih dibagi-bagi menurut derajat keturunan, yang masing-masing
mempunyai status dan prestise (harkat) sendiri dalam masyarakat. Dalam
masyarakat kerajaan , status priyai menjadi idaman setiap orang, karena status
priyai di anggap lebih tinggi dan terhormat daripada golongan lainnya. Kecuali
bangsawan keturunan dari Raja-Raja Mataram, di daerah-daerah terutama di daerah
Pasisiran terdapat Bangsawan keturunan dari Dinasti sebelumnya.
2.
Golongan Lapisan Bawah adalah
rakyat biasa (Wong Cilik, Kawula Alit). Lapisan bawah ini jumlahnya jauh lebih
besar daripada lapisan Atas dan merupakan golongan yang di perintah. Pejabat-pejabat
birokrasi di unit pemerintahan tingkat terbawah seperti di kelurahan termasuk
lapisan wong cilik. Golongan ini meliputi golongan pedagang, petani, pekerja
kerajinan, buruh dan budak.
Ø
Golongan pedagang dalam masyarakat
kedudukannya di bawah pejabat-pejabat (abdi dalem-raja). Pedagang kaya berusaha
mempunyai hubungan lebih erat dengan priyayi terutama melalui tali perkawinan.
Ø
Golongan petani pada masa
pemerintahan negara Mataram merupakan jumlah yang terbesar dan merekalah yang
menghasilkan produksi untuk kebutuhan bahan makanan seluruh penduduk.
Ø
Golongan pekerja kerajinan
meliputi mereka yang berusaha dalam pembuatan barang-barang kesenian seperti
ukiran-ukiran, perhiasan, pertenunan dan lain sebagainya.
Ø
Golongan buruh adalah mereka yang
bekerja demi mendapatkan upah, di bandar-bandar sungai, demikian pula buruh
penggarapan sawah.
Ø
Golongan budak ini jumlahnya
terbatas, hidup mereka tergantung pada tuannya, baik akibat karena hutang-piutang
ataupun bekas tawanan perang. Golongan ini juga disebut golongan yang dicela
oleh masyarakat, seperti pembegal,pencuri, brandal dan sebagainya. Mereka
kebanyakan hidup tidak menetap dalam suatu desa, tetapi berpindah-pindah.
Adakalanya menetap secara ilegal dalam desa ataupun menetap dalam hutan-hutan
atau gua-gua yang tidak jauh letaknya dari desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar