Kata
"dekrit" berasal dari bahasa Latin yaitu "decretum", dalam
bahasa Perancis "dêcret", dalam bahasa Jerman "dekret",
dalam bahasa Inggris "decree", dan dalam bahasa Belanda
"decreet". Di zaman Romawi perkataan "decretum" mengandung
arti sebagai suatu keputusan yang diambil di luar kebiasaan atau sebagai
keputusan yang luar biasa dari kaisar atau para pejabat tinggi (praetor).
Menurut Modern American Encyclopedia perkataan "decretum"
diartikan sebagai suatu ketetapan dari penguasa mengenai suatu hal yang sedang
jadi persoalan dan harus mendapat penyelesaian secara luar biasa karena keadaan
tertentu. Sesuai dengan arti dekrit seperti diterangkan di atas, Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 adalah juga merupakan suatu ketetapan penguasa di dalam
keadaan luar biasa untuk menyelamatkan kehidupan bangsa dari berbagai
kemungkinan yang membahayakan.
Pemilu yang
pertama diselenggarakan pada masa Kabinet Burhanudin Harahap tahun 1955, di
antaranya adalah untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas merumuskan
UUD baru. Namun dalam kenyataannya sampai tahun 1959, Konstituante belum juga
berhasil melaksanakan tugasnya. Kemacetan kerja Konstituante ini disebabkan
adanya dua aliran besar di dalam tubuh Konstituante mengenai paham kenegaraan
yang hendak diletakkan di dalam konstitusi antara golongan agama (Islam) dan
golongan nasionalis. Masing-masing aliran tersebut mendapat dukungan lebih dari
sepertiga jumlah anggota tetapi kurang dari dua pertiga jumlah anggota,
sehingga tidak memenuhi syarat (quorum) sebagaimana ditetapkan dalam pasal 137
UUDS 1950. Antara ke dua paham kenegaraan tersebut tidak dapat dipertemukan
atau disintesiskan satu sama lain, terbukti dari sikap pendukungnya
masing-masing paham itu ketika menghadapi usul Pemerintah kepada Konstituante
untuk menetapkan UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950.
Karena
perbedaan antara dua golongan tampaknya tak dapat diatasi, Presiden Soekarno
pada tanggal 22 April 1959 mengusulkan dalam Sidang Konstituante untuk kembali
ke UUD 1945, suatu ide yang telah dikemukakan lebih dulu oleh Jenderal A.H.
Nasution dalam sidang Front Nasional. Sesudah melalui pembicaraan yang panjang,
kedua belah pihak akhirnya dapat menerimanya.Tapi kelompok partai-partai Islam
menghendakinya berlakunya UUD 1945 dengan amandemen (perubahan) yaitu supaya
Pembukaan dan pasal 29 ayat (1) dari UUD 1945 disesuaikan dengan isi Piagam
Jakarta. Tetapi partai-partai lain tidak dapat menerima usul perubahan
tersebut. Mereka melihat usul perubahan itu sebagai satu usaha untuk mengubah
dasar negara Pancasila serta secara tidak langsung akan mendirikan negara yang
berdasarkan syariah Islam, padahal rakyat Indonesia tidak seluruhnya beragama
Islam.
Untuk
menyelamatkan negara serta tetap utuhnya negara kesatuan RI, Presiden
Soekarno pada akhirnya mengeluarkan dekritnya tanggal 5 Juli 1959 yang berisi
tiga ketetapan yaitu:
1) Pembubaran Konstituante
2) Berlaku kembalinya UUD 45
sebagai pengganti UUDS 50
3) Perlu
dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
|
|
Dari tiga
ketetapan ini yang menjadi ketetapan pokok adalah ketetapan kedua, yaitu
mengenai penggantian UUDS 1950 dengan UUD 1945, sedangkan ketetapan ketiga
dimaksudkan untuk mengisi masa peralihan selama belum dapat dibentuk MPR dan
DPA yang menurut UUD 1945 pembentukannya masih harus diatur dengan
undang-undang (pasal 2 dan pasal 16). Dengan demikian, berlakunya UUD 1945 atas
dasar Dekrit Presiden 5 juli 1959 sebagai keputusan hukum penguasa yang diambil
di dalam keadaan darurat atau dalam keadaan terpaksa untuk menyelamatkan
keadaan bangsa Indonesia.
Setelah
empat puluh tahun Dekrit 5 Juli 1959 dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, secara
tidak terduga Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan dekrit pada tanggal 22
Juli 2001 pukul 01.10. Dekrit tersebut antara lain berbunyi :
1)
Membekukan DPR/MPR;
2) Mengembalikan
kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang
diperlukan untuk menyelenggaran Pemilu dalam waktu satu tahun;
3) Menyelamatkan gerakan reformasi
total dari unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golongan Karya sambil
menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Selanjutnya
presiden menyuruh TNI dan Polri untuk menindaklanjuti dekrit tersebut. Dekrit
tersebut jelas sangat menggemparkan peta politik Indonesia serta menimbulkan
berbagai kontroversi dan tanggapan beragam dari berbagai lapisan masyarakat
termasuk dari DPR/MPR itu sendiri. Akibatnya, MPR menyelenggarakan Sidang
Istimewa yang memang telah direncanakan sebelumnya untuk meminta
pertanggung-jawaban presiden karena tidak mengindahkan Memorandum I dan II yang
dikeluarkan oleh DPR. Apalagi presiden sebagai lembaga tinggi negara yang
kedudukannya lebih rendah daripada MPR dan diangkat oleh MPR, tidak berhak
untuk membubarkan MPR. Terlebih lagi, dekrit presiden tersebut tidak didukung
oleh TNI sehingga dekrit tersebut tidak memiliki kekuatan secara de fakto.
Hal ini
berbeda dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memang direkomendasikan oleh
TNI. Dalam Sidang Istimewa MPR (23 Juli 2001) tersebut yang tidak dihadiri oleh
presiden, anggota sidang mencabut mandat Abdurahman Wahid sebagai Presiden RI,
serta selanjutnya melalui pemungutan suara (voting) secara tertutup, Wapres
Megawati Soekarno Puteri terpilih sebagai Presiden yang ke lima Republik
Indonesia. Sedangkan Hamzah Haz (Ketua Umum PPP) terpilih sebagai wakil
presiden.
1)
Latar-Belakang
Tindakan
yang diambil oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan dekritnya, ternyata
tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sistem pemerintahan yang
dilaksanakan pada masa itu mengarah kepada sistem "Demokrasi
Terpimpin". Pengertian 'terpimpin' ditafsirkan secara mutlak oleh diri
pribadi presiden. Padahal menurut UUD 45, pengertian terpimpin harus sesuai
dengan sila ke-4 dari Pancasila yaitu; "Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan".
Istilah
"Demokrasi Terpimpin" sebenarnya untuk pertama kalinya dipakai
secara resmi dalam Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1956,
ketika akan membuka Sidang Konstituante. Inti dari pidato tersebut adalah
mengoreksi segala kelemahan atau keburukan-keburukan paham liberal yang
sedang dijalankan oleh Indonesia pada waktu itu, yang sangat merugikan rakyat
yang ekonominya lemah. Untuk itu diperlukan suatu sistem demokrasi yang cocok
bagi rakyat Indonesia, yaitu Demokrasi Terpimpin.
Pelaksanaan sistem Demokrasi Terpimpin, sebenarnya merupakan wujud dari
obsesi Presiden Soekarno yang dituangkan dalam Konsepsi-nya pada tanggal 21
Februari 1957, yang isinya mengenai penggantian sistem Demokrasi Liberal
menjadi Demokrasi Terpimpin, pembentukan Kabinet Gotong Royong, dan
pembentukan Dewan Nasional.
|
2) Bentuk
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
a) Politik Dalam
Negeri
Bentuk
pelaksanaan dari sistem Demokrasi Terpimpin adalah mengenai Pidato Presiden
tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul "Penemuan Kembali Revolusi
Kita". Pidato ini kemudian dikenal dengan sebutan "Manifesto Politik
Republik Indonesia" (Manipol). DPAS dalam sidangnya mengusulkan agar
Manipol dijadikan GBHN. Penetapan Manipol menjadi GBHN dikukuhkan oleh TAP MPRS
Nomor 1 tahun 1960. Dalam kata Manipol kemudian ditambahkan kata USDEK ,
yaitu singkatan dari Undang-Undang Dasar 45, Sosialisme a la Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Selanjutnya
presiden pun mengemukakan konsepnya yang ia pendam sejak lama, yaitu konsep
NASAKOM (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) sebagai ideologi negara. Konsep
Nasakom ini bisa dikatakan sebagai perwujudan aspirasi dari partai politik yang
berbeda dan dominan pada waktu itu yakni PNI (Nasionalis), NU dan Masyumi
(Agama) dan PKI (Komunis). Konsep Nasakom tersebut sebenarnya tidak disetujui
oleh Mohammad Hatta jauh-jauh sebelumnya, ketika pada masa perjuangan sebelum
merdeka, dimana Ir. Soekarno sering melontarkan gagasannya tersebut. Menurut
Moh. Hatta, bahwa : “Nasionalisme dan Komunisme” bisa saja berpadu,
“Nasionalisme dan Agama” bisa saja berpadu, tetapi “Komunisme dan Agama” tidak
mungkin berpadu.
Pada masa
akhir demokrasi liberal, Moh. Hatta sudah mulai memperkirakan bahwa toh pada
akhirnya Presiden Soekarno akan menetapkan konsep Nasakomnya tersebut, maka
untuk menghindari perbedaan paham yang semakin lebar, pada 1 Desember 1956,
Moh. Hatta mengundurkan diri dari Wakil Presiden RI.
Bentuk
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan eksekutif,
dalam hal ini adalah presiden, di antaranya :
(1) Di bidang Legislatif
Presiden menunjuk anggota MPRS dan harus tunduk
kepadanya, hal ini bertentangan dengan Pasal 6 ayat 2 UUD 45 yang berbunyi "Presiden
dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak".
Selanjutnya , pada tanggal 24 Juni 1960, Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu
I dan membentuk DPR-GR (Gotong-Royong) atau yang kemudian dikenal sebagai
Kabinet Kaki Empat yang didominasi oleh empat partai politik terbesar yaitu
PNI, NU, Masyumi dan PKI.
(2) Di bidang Eksekutif
Dalam Sidang MPRS kedua yang dilaksanakan di Bandung, MPRS
mengangkat Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. hal jelas
bertentangan dengan Pasal 7 UUD 45 yang berbunyi : "Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali".
(3) Di bidang Yudikatif
Dalam bidang ini, Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung
diangkat menjadi setarap menteri, padahal bidang ini harus terlepas dari
pengaruh kekuasaan legislatif dan eksekutif.
b) Politik Luar Negeri
Pada masa
Demokrasi Terpimpin, kebijaksanaan politik luar negeri banyak terpusat di
tangan presiden. Politik luar negeri yang bebas-aktif dibelokkan menjadi
politik konfrontasi terhadap apa yang disebut sebagai Old Established Forces
(Oldefo) dengan New Emerging Forces (Nefo). Negara-negara yang tergabung
dalam Nefo adalah negara-negara yang "progresif-revolusioner",
sebutan terhadap negara-negara komunis. Sedangkan negara-negara yang tergabung
dalam Oldefo adalah negara-negara Blok Barat yang dianggap kaum komunis sebagai
negara-negara "kapitalis-imperialis" atau neo kolonialisme (Nekolim)
Hubungan
dengan pihak Barat merenggang, karena mereka bersikap pasif terhadap perjuangan
pembebasan Irian Barat dan sangat sulit untuk diminta bantuannya dalam masalah
bantuan kredit. Kebencian Presiden Soekarno terhadap negara-negara Barat
khususnya Amerika Serikat dan Inggris sering diwujudkan dalam ucapan-ucapan
seperti “go hell with your aid” atau “Amerika kita seterika, Inggris
kita linggis”, dan lain-lain. Sebaliknya hubungan dengan blok Timur semakin
erat, karena Uni Soviet bersedia memberi kredit dalam pembelian peralatan
militer sehingga Indonesia dapat memperlengkapi Angkatan Perangnya secara
modern. Bahkan Indonesia masuk dalam aliansi poros
“Jakarta-Moskow-Peking-Hanoi-Pyongyang”.
Pada masa
ini juga, Pemerintahan Orde Lama menjalankan politik konfrontasi dengan
Malaysia. Hal ini disebabkan pemerintah RI menentang pembentukan negara
Federasi Malaysia (Malaysia, Serawak, Sabah, Singapura, dan Brunei) yang
dianggap sebagai bonekanya negara-negara Nekolim dan membahayakan posisi
negara-negara Blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia tersebut,
Presiden Soekarno mengeluarkan Komando Dwikora (Dwi Komando Rakyat) tanggal 3
Mei 1964 yang berisi :
(1) Perhebat ketahanan revolusi
(2) Bantu perjuangan rakyat Malaysia, Singapura,
Sabah, Serawak, Brunai, untuk membebaskan diri dari pengaruh Nekolim
(Neo-Kolonialisme).
Aspek lain
dari pelaksanaan politik Nefo-Oldefo, dikenal dengan politik "mercu
suar". Presiden Soekarno berpendapat bahwa Indonesia merupakan "mercu
suar" yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Karena itu
Indonesia harus menyelenggarakan proyek-proyek politis yang kolosal dan
spektakuler, yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan
terkemuka di kalangan Nefo. Misalnya dengan menyelenggarakan Games of the
New Emerging Forces (Ganefo) yang dimulai dengan proyek pembangunan
kompleks olah raga Senayan dan meliputi pula biaya perjalanan pelbagai delegasi
asing. Hal ini jelas membutuhkan biaya yang sangat besar, padahal kondisi
keuangan Indonesia pada waktu itu sedang mengalami defisit.
c) Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin
Dalam
bidang ekonomi, dipraktekan Sistem Ekonomi Terpimpin. Presiden secara langsung
terjun dan mengatur perekonomian. Pemusatan kegiatan perekonomian pada satu
tangan berakibat menurunnya kegiatan perekonomian. Inflasipun merajalela,
bahkan sudah mencapai tingkatan hiperinflasi.
Untuk
menanggulangi keadaan ekonomi yang semakin suram, pada tanggal 28 Maret 1963
dikeluarkan landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh, yaitu
"Deklarasi Ekonomi" atau "Dekon", beserta 14 peraturan
pokoknya. Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia yang
menjadi bagian daripada strategi umum Revolusi Indonesia. Tujuan Dekon adalah
"menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis Indonesia dengan cara terpimpin”. Dalam kenyataannya, konsepsi
Dekon ini membawa stagnasi bagi ekonomi Indonesia. Di dalam melaksanakan
ekonomi terpimpin ini pemerintah lebih menonjolkan "terpimpin"-nya
daripada asas-asas ekonominya. Akibatnya ialah bahwa bidang kelembagaan ekonomi
semakin terjerumus ke dalam kebiasaan yang unsur terpimpinnya lebih dominan
dari pada unsur ekonominya yang efisien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar